Pelaksanaan Penghitungan Ulang Surat Suara (PUSS) di Aceh

Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus 297 perkara dalam Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 44 perkara diantaranya dikabulkan dengan model amar putusan beragam mulai dari Pemungutan Suara Ulang (PSU), Penghitungan Ulang Surat Suara (PUSS), Penyandingan Perolehan Suara, Rekapitulasi Perolehan Suara Ulang, hingga Pencermatan dan Menetapkan Perolehan Suara.

Qurban dan Ketentuannya



Ibadah Haji

IBADAH HAJI adalah rukun Islam ke lima yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial maupun finansial dan sekali seumur hidup

Positioning Bawaslu di Aceh dalam Pengawasan Pilkada

Perlehatan pilkada serentak secara nasional akan di gelar 27 November 2024. Hal ini merujuk ketentuan pasal 201 ayat (8) Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang telah diubah beberapa kali. Pasal tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Khusus untuk penyelenggara Pemilihan atau Pilkada di Aceh, pengawasan tahapan-tahapan pelaksanaan pilkada tidak dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslih (permanen) yang dibentuk sesuai Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tetang Pemilu, akan tetapi dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) yang bersifat adhoc yang dibentuk berdasarkan Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pasal 60 tersebut menyatakan bahwa anggota Panwaslih masing-masing sebanyak 5 orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK. Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Masa kerjanya berakhir 3 bulan setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Peran KPU dan Bawaslu dalam Mengawal Suara Rakyat

Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Legislatif (DPR), Perwakilan Daerah/Senator (DPD) serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Demikian definisi Pemilu sesuai UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemilu diselenggarakan setiap 5 (tahun) sekali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggaan Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu.

Penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu dan mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Prinsip dasar kedaulatan rakyat sebenarnya sangat sederhana, bahwa rakyat lah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, bukan yang lain. Rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri dengan kata lain kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin yang dipercara oleh rakyat melalui proses pemilihan umum secara langsung yang demokratis, adil dan bermartabat.

Peran KPU

Beranjak dari hal tersebut, pemilu merupakan sarana legitimasi rakyat dalam merepresentasikan kedaulatannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU, Bawaslu dan DKPP telah diberikan mandat oleh rakyat guna memastikan suara-suara rakyat terjaga kedaulatannya dan melaksanakan tanggung jawab tidak hanya secara hukum, melainkan tunduk pada nilai-nilai etika dan moralitas.

KPU sebagai aktor utama penyelenggara pemilu wajib merumuskan secara paripurna, detil dan sistematis berupa hard sistem (manual) maupun soft system (Teknologi) terutama terkait dengan mekanisme pemungutan dan penghitungan suara. KPU hendaknya juga memastikan bahwa penyelenggara teknis lapangan memahami dengan utuh dan mahir mengoperasionalkan perangkat-perangkat tersebut. Secara teknis, KPU di “haram” kan mengotak-atik (menambah/mengurangi/mengkondisikan) hasil penghitungan suara. Derajat kemuliaan suara rakyat dijunjung tinggi setara kuasa ilahiah. Mantranya, suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei)  dan di sisi lain KPU wajib terlepas dari beban atau sugesty keberpihakan/partisan.

Sebuah adagium menyebutkan: “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yg menentukan hasil dari pemilu”. Adagium ini mungkin bisa menjadi alarm atau menurut penulis lebih kepada landasan moral bahwa KPU mempunyai peran sentral dalam menentukan hasil pemilu melalui kewenangan dan perangkat-perangkat operasionalnya.

Peran Bawaslu

Meski demikian, hal itu tidak etis dijadikan sebuah justifikasi bahwa KPU mempunyai kewenangan mutlak menentukan peraih suara terbanyak dalam pemilu, masih banyak elemen-elemen yang dapat menghindarkan KPU terjerumus dalam dugaan nista tersebut. Salah satu elemen sakral lainnya adalah eksistensi Bawaslu dalam melakukan pengawasan dan kembali ke pokok tugasnya Bawaslu juga punya tanggung jawab hukum dan moral dalam menjaga dan memastikan kedaulatan suara rakyat. Bahwa satu suara rakyat wajib di jaga dan dipastikan utuh dan sampai kepada orang yang di pilih sebagai bentuk legitimasi terhadap keterwakilannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Berbeda dengan elemen sipil lainnya, Bawaslu merupakan representasi negara yang juga mendapat mandat dari rakyat untuk mengawasi setiap tahapan pelaksanaan Pemilu, Bawaslu diberikan kewenangan, akses serta perangkat-perangkat pengawasan yang membuatnya leluasa, mampu menjangkau penjuru wilayah NKRI dan seluruh dimensi ruang dan waktu penyelenggaraan pemilu sehingga Bawaslu sejatinya menjadi wasit dan saksi yang mampu memberikan ketenangan dan harapan kepada peserta pemilu dan masyarakat sehingga pemilu terlaksana secara adil dan bermartabat, out put nya adalah hasil pemilu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, moral dan etika yang bermuara pada kuatnya legitimasi pemenang pemilu.

Peran Peserta Pemilu dan Masyarakat

Selain KPU dan Bawaslu, Peserta pemilu baik itu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR dan DPD melalui perangkat atau tim pemenangannya juga diberikan ruang yang sama secara hukum dalam upaya memastikan Proses Pemungutan dan Penghitungan Suara berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang ada. Tim pemenangan dapat mengutus saksi-saksinya ke TPS sesuai dengan jenis pemilihannya. Peran saksi-saksi Peserta pemilu juga tidak kalah krusial dalam menentukan pemenang pemilu, potensi “kecurangan”, kesalahan atau kekeliruan saat penghitungan suara bahkan bisa terhindar jika Seluruh peserta pemilu mampu menghadirkan saksi-saksinya ke seluruh TPS dan para saksi tersebut bekerja secara profesional sesuai mekanisme dan arahan dari pemberi mandatnya.

Seluruh pemangku kepentingan Pemilu berperan untuk memastikan semua tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan azas dan prinsip pemilu yang demokratis dan berintegritas agar proses dan hasil pemilu itu dipercaya. Diperlukan kepedulian dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat secara luas untuk ikut terlibat memastikan integritas pemilu 2024 terutama peran aktif masyarakat saat pemungutan dan penghitungan suarat di TPS. Masyarakat diharapkan mencegah terjadinya potensi kecurangan dan pelanggaran serta melaporkan kepada Pengawas TPS atau Pengawas Pemilu Desa.