KONSEPSI ILMU DALAM ISLAM
Mahlil Zakaria*
Teori ilmu yang berkembang dewasa ini/abad modern cenderung menunjukkan adanya pemisahan antara ilmu dan agama yang secara tidak langsung telah mengaburkan nilai-nilai agama dalam dalam sebuah teori ilmu. Dampaknya adalah muncul berbagai aliran pemikiran/ideologi yang secara ekstrem menentang ajaran-ajaran agama.
Hal ini juga mulai menjangkiti paradigma keilmuan dalam tubuh kaum Muslimin. Bisa dikatakan, kemunduran peradaban Islam dalam era modern seperti sekarang ini diakibatkan karena kemerosotan ilmu dalam masyarakat Islam. Penyebabnya antara lain rusaknya hati dan rapuhnya iman karena terlalu mengagungkan pengetahuan yang bersifat empiris dan memahami filfasat dengan menyengampingkan Aqidah.
Beranjak dari deskripsi tersebut, dapat dipahami bahwa Ilmu merupakan tolak ukur utama dari sebuah peradaban. Dalam hal ini Islam telah memberikan pondasi yang utuh dan kuat untuk mengembalikan dan menuju peradahan islam yang gemilang. Salah satu upayanya adalah dengan menyebarluaskan pokok-pokok pemikiran islam agar pola pikir kaum muslimin senafas dengan prinsip-prinsip Islam.
Seorang muslim sejatinya istoqamah dengan konsep-konsep keilmuan yang disajikan dalam Islam dan tidak fanatik terhadap konsep ilmu yang ditawarkan dalam peradaban barat.
Dalam Islam, ilmu meliputi cakupan yang sangat luas, universalitas, empiris serta metafisik, sementara dalam pandangan barat Ilmu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empiris. Ilmu dalam pandangan Islam tidak hanya menyangkut dengan substansi pengetahuan, namun ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pandangan hidup dan juga menjadi elemen penting dari peradaban.
A. Pengertian Ilmu
Di dalam al-Qur’an kata al-‘ilm disebut sebanyak 105 kali dan dari akar katanya disebut dalam berbagai bentuk tidak kurang dari 744 kali. Hal ini berbeda dengan hitungan Quraisy Shihab yang menyebutkan kata ‘ilm dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Hal ini menunjukkan tingginya kedudukan ilmu dalam kehidupan manusia.
Beberapa definisi ilmu adalah sebagai berikut:
العلم هو الفكرُ الناتج عن دراسة سلوك وشكّل وطبيعة
الأشياء؛ ممّا يؤدي إلى الحصول على معرفة عنها
“Ilmu adalah pemikiran yang dihasilkan dari mempelajari perilaku, bentuk, dan sifat dari berbagai hal, yang mengarah pada memperoleh pengetahuan tentangnya”
Ibnu taimiyah dalam Majma’ Fatawa mendefenisikan ilmu secara istilah berarti pengetahuan yang berdasar pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqiq).
Al-Ghazali mendefenisikan ilmu sebagai pengenalan sesuatu atas dirinya (ma’rifa al-ashay ‘ala ma huwa bihi). Defenisinya di sini, untuk tahu sesuatu, berarti mengenali sesuatu itu sebagai mana adanya. Ada tiga hal yang perlu diuraikan. Pertama, Ilmu adalah pengenalan, sehingga nampak bahwa ilmu adalah masalah perseorangan. Kedua, tidak seperti idrak yang tidak hanya mengisyaratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan lain (misalnya dari jahil menjadi berilmu), tetapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda (pikiran) seseorang dari luar. Istilah ma’rifah dalam defenisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri.
Dalam menjelaskan Ilmu secara terminologi, terdapat dua definisi yang dikemukakan al-Attas; pertama, Ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah l atau dengan kata lain, datangnya makna sesuatu atau objek ilmu kedalam jiwa pencari ilmu; dan kedua, ilmu sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif atau diartikan juga datangnya jiwa pada makna sesuatu atau objek ilmu. Konsekuensinya adalah ilmu bermakna universal dan mencakup semua hal.
Adapun maksud dari definisi yang disampaikan al-Attas adalah untuk mendapatkan/mencari ilmu dibutuhkan persiapan baik dari sisi mental maupun spiritual serta dengan penuh ketawadhuan mengharapkan keridhaan dan kasih sayang Allah Swt sebagai Zat yang memiliki dan memberikan ilmu sehingga dapat dikatakan bahwa proses mencari ilmu merupakan sebuah proses spiritual.
Sebagaimana
firman Allah ldalam Surah al-Mujaadilah: 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ
تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا
قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
Dalam a Dictionary of modern written arabic, ilmu diartikan bermacam-macam: knowledge (pengetahuan), learning (pembelajaran), lore (adat dan pengetahuan), cognizance (pengetahuan, tanggung jawab), information (informasi), cognition (pengakuan), intellectualitation (pemikiran akal), perception (tanggapan) dan sciense (natural sciense).
Definisi tersebut mengandung beberapa pengertian; pertama, ilmu mencakup semua jenis atau bermacam pengetahuan, baik pengetahuan yang bersifat eksakta, sosial, budaya, fenomena alam, hukum, sejarah, pengetahuan agama, pengetahuan tentang kehidupan didunia dan kehidupan diakhirat. Kedua, karena pengetahuan diperoleh dari hasil penelitian/observasi, perenungan, percobaan dengan menggunakan segenap pemikiran manusia atau dengan kata lain ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia itu sendiri, kecuali ilmu yang berasal dari tuhan yang diwahyukan melalui kitab sucinya. Ketiga ilmu dapat berfungsi sebagai informasi, pengakuan, argumentasi dan tanggapan.
Seorang Muslim tentu dituntut untuk mencari ilmu yang bermanfaat untuk diri dan agamanya, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang apabila pelajari maka semakin meningkat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
B. Klasifikasi Ilmu
Pada masa Rasulullah saw ilmu belum berkembang seperti pada masa keemasan Islam (abad 8 s/d 12) atau masa modern seperti sekarang ini dan karena itu belum ada pembidangan atau klasifikasi ilmu secara terperinci. Pada masa keemasan Islam, perkembangan ilmu sangat pesat dan mencapai puncaknya manakala kaum muslimin menjadi pemimpin pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dari berbagai macam ilmu dan cabang-cabang ilmu jika dipandang dalam perspektif Islam adalah satu, dengan kata lain dalam Islam hakikatnya Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari Agama (Islam) itu sendiri. Walaupun para ahli/ulama telah mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hierarki tertentu namun muaranya adalah pada pengetahuan tentang hakikat yang maha tunggal yakni subtansi dari segenap ilmu. Hal ini menjadi alasan kenapa para pemikir/ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban non Muslim kedalam hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Diantara ulama, pemikir, ilmuwan Muslim yang sangat peduli terhadap klasifikasi ilmu adalah: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun sampai Al Ghazali.
Pengklasifikasian ilmu itu sendiri bertujuan untuk lebih mempermudah manusia mempelajari suatu ilmu agar memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan dengan tidak menafikan ilmu yang lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya serta memberikan kemanfaatan.
1. Klasifikasi ilmu menurut Al Farabi
Menurut CA. Qadir, Al Kindi merupakan filosof muslim pertama yang menyajikan klasifikasi ilmu berdasarkan pendapat Aristoteles ke dalam tiga bagian, yakni: ilmu teoritis, praktis dan produktif yang kemudian dikembangkan oleh Al Farabi dalam bukunya Ihsha’ al ‘Ulum (Daftar Klasifikasi ilmu).
Al Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu; (a). Kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu’), (b) Kedalaman bukti-bukti (istqsha’ al-barahin) dan; (c). Tentang besarnya manfaat (‘izham al-jadwa)
Klasifikasi yang dibuat Al Farabi jika ditabulasikan sebagai berikut:
2. Klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun membagi ilmu atas dua macam; pertama, Ilmu Naqliyah (Ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ilmu tradisional) seperti ilmu Al Qur’an, Hadits, Tashawuf, tafsil dan ilmu qalam. Kedua, Ilmu Aqliyah (ilmu yang berdasarkan logika atau rasionalitas) termasuk ilmu filsafat (metafisika), matematika, fisika dan sejenisnya.
3. Klasifikasi ilmu menurut Al Ghazali
Secara umum Imam Al Ghazali membagi ilmu menjadi dua:
a. Mu’amalah. Ilmu mu’amalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial. Ilmu ini kemudian digolongkan menjadi yang bersifat fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
b. Mukasyafah. Ilmu mukasyafah adalah puncak dari semuak ilmu karena ia berhubungan dengan hati, ruh, jiwa dan pensucian diri.
4. Klasifikasi ilmu menurut konfrensi Internasional II mengenai pendidikan Islam di Islamabad, Maret 1980.
5). Klasifikasi ilmu menurut al-Qur’an
Klasifikasi jenis ini dipopulerkan oleh Mahmûd Abd al-Wahhab Fayid yang beranjak atas asumsi bahwa ayat-ayat al-Qur‘an mengakomodasi (mewadahi) dan menginspirasi bagi pengembangan berbagai ilmu.
C. Sumber Ilmu
Sumber ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Darimana kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini, tidak sedikit ditemukan ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa realitas (tampak maupun tidak) bisa menjadi sumber ilmu, walau dalam kedudukannya realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah dan wahyu.
1. Wahyu (al-Qur’an). Wahyu adalah Pemberitahuan Allah kepada siapa saja yang dipilihnya dari hamba-hambaNya sesuai keinginanNya untuk diberi hidayah dengan cara tersembunyi dan cepat”.
2. al-Anfas (Diri manusia). Didalam diri manusia juga terdapat berbagai sumber ilmu. Setiap anggota tubuh dan panca indera merupakan sumber ilmu yang telah melekat pada setiap individu manusia.
3. al-Afaq (Alam semesta) Alam semesta mengandung aspek kebenaran yang akan mengantarkan manusia kepada kebenaran yang hakiki yaitu Tuhan.
4. at-Tharikh (Sejarah). al-Qur’an selalu menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah dan menekankan pentingnya merenungi pengalaman manusia di masa lampau dan masa kini.
D. Instrumen Ilmu
Instrument ilmu merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan, diantara alat yang dimiliki oleh manusia untuk meneliti/mencari ilmu pengetahuan adalah indera. Secara sederhana apabila seseorang kehilangan salah satu indera maka ia akan kehilangan satu ilmu, misalnya jika seseorang dilahirkan buta maka ia akan kehilangan kemampuan untuk mendeteksi suatu warna. Selain indera intrumen ilmu lainnya adalah rasio yang berfungsi untuk memilah dan mengurai suatu objek.
1. Panca Indera. Panca indera merupakan tahapan pertama dan yang paling sederhana. Namun indera terkadang memberi pengetahuan yang salah, misalnya kayu yang terlihat bengkok apabila dimasukkan ke dalam air. Hal ini bearti dibutuhkan instrument lain untuk menutupi kelemahan panca indera sebagai instrumen ilmu.
2. Khayal atau imajinasi. Alam hayal atau imajinasi juga dapat dijadikan sebagai instrumen dalam mencari/menenukan suatu ilmu dan pengetahuan. Hal-hal yang tidak tertampung di dunia nyata dapat hadir di alam hayal. Misalnya wrigth bersaudara mengawali rancangan pesawatnya dari alam hayal.
3. Akal. Akal mampu menangkap hal-hal yang sifatnya universal, objektif dan mutlak bahkan hal-hal yang abstraks atau tidak dapat diinderai. Akal lah yang menbedakan antara manusia dan binatang.
4. Logika. Logika adalah sarana untuk befikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Berfikir logis adalah berfikir sesuai dengan aturan-aturan berfikir. Pengetahuan yang sistematis berasal dari logika yang benar.
Sementara Al Ghazali berpendapat bahwa instrumen yang ada pada diri manusia yang dapat diandalkan untuk mencari dan sekaligus memperoleh ilmu pengetahuan yang a priori dan aksiomatik (epistimologi) hanyalah Intuisi (Al-Dzauq).
E. Metode Ilmu
Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.
1. Eksperimen atau observasi bagi objek-objek fisik (mahsusat). Metode observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indra. Namun, terkadang indra tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jelas, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.
2. Intuisi atau (‘irfani atau dzauqi). Metode ini adalah langsung dari Tuhan tidak melalui perantara, sehingga disebut dengan mukasyafah langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi menyebut metode ini dengan ‘ilm huduri. Di sini objek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek. Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi.
Menurut Al Attas, meskipun pengalaman instuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah.
Kesimpulan
Konsepsi Ilmu dalam Islam meliputi cakupan yang sangat luas, universalitas, empiris serta metafisik, sementara dalam pandangan barat Ilmu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empiris. Seorang muslim sejatinya istoqamah dengan konsep-konsep keilmuan yang disajikan dalam Islam dan tidak fanatik terhadap konsep ilmu yang ditawarkan dalam peradaban barat.
Beberapa definisi ilmu diantaranya adalah:
1. Ilmu adalah pemikiran yang
dihasilkan dari mempelajari perilaku, bentuk, dan sifat dari berbagai hal, yang
mengarah pada memperoleh pengetahuan tentangnya.
2. Ibnu Taimiyah dalam Majma’ Fatawa mendefenisikan ilmu secara istilah
berarti pengetahuan yang berdasar pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa
berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq),
bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqiq).
3. al-Ghazali mendefenisikan ilmu sebagai pengenalan sesuatu atas dirinya (ma’rifa al-ashay ‘ala ma huwa bihi).
Al Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu: (1). Kemuliaan materi subjek (2). Kedalaman bukti-bukti dan (3). Tentang besarnya manfaat. Ibnu Khaldun membagi ilmu atas dua macam; (1) Ilmu Naqliyah, Ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ilmu tradisional, (2) Ilmu Aqliyah (ilmu yang berdasarkan logika atau rasionalitas. Imam Al Ghazali membagi ilmu menjadi Ilmu Mu’amalah Ilmu Mukasyafah.
Adapun beberapa sumber ilmu adalah: Wahyu (al-Qur’an), Al-Anfas (diri manusia), al-Afaq (alam semesta) dan at-Tharikh (sejarah). Instrumen ilmu terdiri dari Panca indera, imajinasi, Akal dan Logika. Metode memperoleh ilmu bisa dilakukan dengan eksperimen atau observasi bagi objek-objek fisik (mahsusat) dan intuisi atau (‘irfani atau dzauqi).
*Mahasiswa
Pascasarjana IAIN Lhokseumawe, Hukum Keluarga Islam (2019)
--------------------------
Daftar Pustaka:
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu
Pengetahuan, Jakarta, Kencana, 2018
Adian Husaini, Filsafat Ilmu
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2013
Adi Setia, “Epistemologi Islam menurut Al Attas,
Satu Uraian Ringkas”, dalam Islamia, Tahun I Nomor 6, September 2005
Ahmad Reza Hutama Al Faruqi, “Konsep Ilmu dalam Islam”, Jurnal Kalimah Vol. 13 No.
2, September 2015
La Ode Husen, “Ikhtisar Filsafat Ilmu, Dalam
Perspektif Barat dan Islam”, Cetakan I, Makassar, Sosial Politik Genius, 2017
Mulyadi Kartanegara, Integrasi
ilmu, sebuah Rekontruksi Holistik, Bandung, Mizan, 2005
Mutty Hariyati dan Isna fistiyanti, Sejarah
Klafikasi ilmu-ilmu Keislaman dan Perkembangan dalam Ilmu Perpustakaan, Vol
9. No. 1, Juni 2017
Muhbib Abdul Wahhab, Integrasi
Epistemologi Ilmu-ilmu dalam perspektif Pendidikan Islam, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu,
Cetakan I, Jakarta, Prenadamedia Group, 2018
Welhendri Azwar Muliono, Filsafat
Ilmu, Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu, Cetakan I, Jakarta, Kencana, 2019
Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu
Pengetahuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta, UII Pres, 2000)
M. Quraisy Shihab, Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung, Mizan,
1996)
Akhmad Alim, Studi Islam;
Islamisasi Ilmu Pendidikan, (Bogor, PUSKI-UIKA, 2013)
Irwan Malik Marpaung, “Konsep Ilmu
dalam Islam”, Jurnal at-Ta’dib, Vol. 6, No. 2, Desember 2011
https://kajianpemikiranislam.com
https://mawdoo3.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar