Hukum Islam dalam Teori dan Praktek

Sebagian masyarakat awam, Hukum sering diartikan sebagai peraturan, undang-undang atau sejenisnya. kata hukum merupakan berasal dari bahasa arab yang diserap menjadi bahasa indonesia yaitu حُكْم (hukm) jamak dari أحكام (Ahkam) yang berarti putusan, hukuman dan sejenisnya.

Dalam bahasa lain, istilah hukum disebut Law (Inggris), Recht (Belanda), Ius (Latin). Istilah “hukum” kemudian diduplikasikan lebih luas dalam kosakata dalam bahasa Indonesia seperti kata hukuman, penegak hukum, kehakiman, mahkamah dan yang serupa serta berkaitan dengan kata dasar hukum.

Kata hukum dalam al-Qur’an dipahami sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap suatu masalah. Putusan atau ketetapan yang tidak hanya mengatur hubungan antara khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan) tapi juga antar manusia yang didalamnya mengatur tentang hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika (akhlaq).

Dalam makalah ini, penulis hanya fokus pada kajian Hukum Islam yang ditinjau dari perspektis teori dan praktek, sejauh mana Hukum Islam dipahami secara teori oleh masyarakat serta diaplikasikan dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan yang majemuk dan heterogen.

1.  Pengertian Hukum Islam
Al Qur’an dan literatur Hukum Islam sama sekali tidah menyebut Hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada dalam Al Qur’an adalah Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah dan yang seakar dengannya. Istilah Hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic law dalam literatur barat.

Islam bermakna sebagai ketundukan dan penyerahan diri seorang hamba dihadapan TuhanNya. Artinya manusia saat berhadapan dengan Tuhan haruslah merasa kerdil, mengakui kelemahan serta membenarkan kekuasaan Allah Swt Kemampuan manusia tidaklah dapat disebandingkan dengan ke Maha Agungan Allah Swt yang bersifat tanpa batas dan tanpa akhir. Manusia hanya mampu menganalisa tanpa bisa menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada.

Jika kata Hukum disandingkan dengan kata Islam, maka akan muncul sebuah perspektif dalam mendefinisikan Hukum Islam yaitu Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan Wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat untuk umat Islam. Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, perintah-perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan orang Islam dalam seluruh aspeknya. Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi pandangan hidup dan intisari Islam itu sendiri.

Kata “hukum” dalam Islam (hukum Islam) sering dikonotasikan pada dua hal yaitu fiqh dan syariat. Fiqh secara bahasa berarti Pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disitir dalam hadits yang mengatakan, “Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama.”
Dalam QS. at-Taubah: 122 Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

a. Fiqih. Banyak dari para ahli hukum mendefinisikan fiqh sebagai “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci. Fiqh yang juga berarti hukum hanya dimengerti fungsinya bila dikaitkan dengan perbuatan manusia baik berupa menyandarkan atau tidak menyandarkan.

Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Sehingga yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan manusia mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), pada perbuatan-perbuatan yang bersifat wajib (prescribed), mandub (sunnah-recommended), haram (unlawful), makruh (disliked), atau mubah (permissible).

b. Syariah. Istilah syariat yang sumber otentiknya berasal dari sumber-sumber hukum Islam yang tersebar pada Al-Qur’an, hadits, ijma dan lain sebagainya. Prof. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam salah satu karyanya mendefinisikan hukum Islam sebagai: “Segala yang diterbitkan (ditetapkan) syara’ untuk manusia, baik berupa perintah maupun merupakan tata aturan amaliyah yang menyusun kehidupan bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama lain serta membatasi tindakan mereka.”

Dalam bentuk aktif, syariat disebut sebagai syara’a, sebuah kata kerja yang bermakna “mengurai atau menelusuri suatu jalan yang telah jelas menuju air”. Dengan makna tersebut, secara doktrin hukum, syari’at dapat difenisikan sebagai “jalan utama menuju kehidupan yang lebih baik yang terdiri dari nilai-nilai agama sebagai acuan untuk membimbing kehidupan manusia”.

c. Fiqh dan Syariah. Bagi orang awam, adakalanya syariat disebut juga sebagai fiqh Islam. Walaupun amat mirip namun keduanya memiliki arti yang berbeda. Jika syariat adalah hukum wahyu yang bersumber Al-qur’an dan hadits, maka fiqh yang secara bahasa bermakna paham atau pemahaman adalah pengetahuan tentang syariat mengenai perbuatan manusia yang diambil dari ijtihad para mujtahid terhadap dalil-dalil yang rinci. Secara definitif, setidaknya ada lima perbedaan antara syariah dengan fiqh yaitu antara lain:
1)  Syariat merupakan wahyu Allah yang terdapat dalam Al-qur’an dan hadits sedangkan fiqh merupakan hasil ijtihad manusia yang sah dalam memahami dan menafsirkan kedua sumber hukum tersebut;
2) Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas sedangkan fiqh bersifat instrumental dan terbatas ruang lingkupnya pada hukum-hukum yang mengatur perbuatan hukum manusia;
3) Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul karena itu keduanya berlaku abadi sedangkan fiqh adalah hasil ijtihad yang sah manusia yang bersifat sementara karena itu dapat berubah sesuai kondisinya.
4)  Syariat hanya satu sedangkan fiqh lebih dari satu karena terdapat banyak madzhab fiqh dan aliran hukum lainnya;
5) Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam sedangkan fiqh menunjukan keragamannya.

2. Teori-teori tentang Hukum Islam
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara, menurut beberapa sumber terjadi sejak abad VII atau VIII. Sementara Hukum barat dibawa oleh VOC pada awal abad XVII. Sebelum masuknya Islam, rakyat Indonesia menganut Hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan bersifat sangat majemuk. Hat tersebut dipengaruhi oleh keyakinan pada agama Hindu dan Budha yang sangat kuat pada zaman itu.

Namun satu hal yang tak dapat dinafikan bahwa kehidupan Bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh Agama Islam dan hingga saat ini masih terlihat secara nyata. Dengan konsekwensi tersebut maka wajarlah kalau Hukum Islam selalu mewarnai taha hukum nasional di Indonesia.

    a. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum. Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis kristen HRA. Gibb dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun, ketaatan ini akan berbeda antara satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada Ketaqwaan masing-masing.

    Menurut Gibb, Sifat hukum Islam yang luwes, berpadu, mengadopsi ajaran hukum dan keadaan yang telah ada. Ia menunjukkan secara jelas, praktik hukum yang hidup bersumber dari kaedah fiqhiyah mengenai al-a’ddah muhakkamah (adat dapat dijakdikan hukum). Hal tersebut menunjukkan daya asimilasi hukum islam yang sangat kuat, mempengaruhi dan membentuk praktik hukum, pelaksanaan hukum dan ketaatan hukum.   

   b. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (Periode penerimaan hukum islam secara penuh). Teori Receptie in Complexu dikemukakan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927), ahli bidang Hukum Islam yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1879-1887. Ia mengatakan bahwa orang Islam berlaku hukum Islam secara penuh. Sebab mereka telah memeluk agamanya walaupun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai penyimpangan. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, telah banyak juga didirikan lembaga-lembaga peradilan agama yang dibentuk oleh Kesultanan atau Kerajaan dalam upaya menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum Islam. Pada waktu itu hukum perkawinan dan kewarisan Islam telah hidup dan berlaku.

    Hukum islam telah mengubah pola pikir dan cara pandang kesadaran masyarakat, sehingga menjadikannya sebagai adat dan perilaku keseharian. Seperti beberapa ungkapan komunitas adat, Hukom ngoen adat lage Zat ngoen sifeut (Aceh) dan Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullaah (Minang Kabau). 

    c . Syariat Islam dan Teori Receptie. Teori Receptie adalah periode dimana hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh masyarakat adat. Teori ini bisa dikatakan bertentangan dengan teori Receptie in Complexu. Teori ini dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Ia merupakan seorang penasehat Pemerintah Hindia Belanda. Berprofesi sebagai dokter mata dan fotografer, selain memahami hukum islam yang dipelajari di Mekkah, ia juga menguasai hukum adat Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisannya berjudul De Atjehers dan De Gojaland. Menurutnya, hukum Islam dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari hukum adat.

    Latar belakang teori ini berpangkal dari keinginan Hurgronye agar masyarakat pribumi sebagai rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang agama Islam dikarenakan Hukum Islam dan masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Ia juga khawatir adanya pengaruh pan Islamisme yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin al-Afgani, ia juga mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakan terhadap Islam yang dikenal Islam policy.
    
    Teori ini kemudian diberi dasar hukum oleh Hindia Belanda yang disebut Indische Stast Regeering (IS) yang diundangkan tahun 1929. Dalam pasal 134 ayat 2 berbunyi: dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat mereka kehendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
    
    Teori ini telah membawa perubahan yang sangat drastis terhadap masyarakat Indonesia, hingga memasuki masa kemerdekaan. Teori ini berhasil meminimalisir hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Beranjak dari masalah tersebut bangkitlah gejolak untuk meraih kemerdekaan dari Hindia Belanda termasuk dibidang hukum sehingga menimbulkan gerakan kemerdekaan Indonesia.

    d. Syariar Islam dan Teori Receptie Exit. Penentangan terhadap teori Receptie tidak hanya dilakukan pada masa penjajahan Belanda tetapi berlanjut sampai masa kemerdekaan Indonesia. Salah satu penentangnya adalah Prof. Dr. Hazairin, SH, dalam bukunya Tujuh Serangkai tentang Hukum. Menurutnya, setelah Indonesia merdeka, melalui pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang menyatakan Hukum Warisan kolonial Belanda masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan Perundang-undangan pemerintaha Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie diggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan Al Qur’an dan as-Sunnah, Hazairin menyebut teori Receptie sebagai “teori iblis”.
    
    Pendapat Hazairin didasarkan pada pembukaan UUD 1945 (alinea III) yang menyatakan bahwa “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, demikian juga pada (alinea IV) “Negara berdasarkan Ketuhana yang Maha Esa”, hal inilah yang menandakan bahwa Bangsa Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agamanya. Istilah Ketuhana yang Maha Esa merupakan istilah kompromi menggantikan istilah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
    
    Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin menyimpulkan bahwa: 
    (1). Teori receptie dianggap tidak berlaku dan exis dari tata hukum Indonesia sejak tahun 1945, 
    (2). Sesuai dengan pasal 29 ayat (1). Membentuk hukum nasional dan salah satu sumbernya adalah hukum agama, dan 
    (3). Selain hukum Islam, juga sumber hukum agama lain bagi pemeluknya masing-masing. 

    Pemikiran ini sekaligus memperkuat teori penerimaan otoritas hukum dan juga mempertajam teorie recepcie in complexu serta meng exit-kan teori receptie. 

    e. Syariat Islam dan Teori Receptie a Contrario. Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang dosen di Fakutas Hukum Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: Hubungan hukum adat dengan hukum Islam, Buku ini mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, teori receptie in complexu, teorie receptie dan perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam praktek.
    
    Teori ini adalah kebalikan dari Teorie receptie, pada teori ini justru hukum adat lah yang berada dibawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Misalnya dalam hukum Perkawinan dan kewarisan bagi umat Islam berlaku hukum Islam, hal ini sesuai dengan keyakinan, cita-cita hukum dan cita-cita moralnya. Dengan kata lain hukum adat bisal berlaku bagi orang Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    Sayuti Thalib dalam mengemukakan rumusan teori ini mendasarkan pada kaedah-kaedah berikut: (1). Pada prinsipnya dalam kaitanya dengan perintah tuhan dan rasul, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib; (2). Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan, dan (3). Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

    f . Syariat Islam dan Teori existensi. Teori ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A. dosen pengejar Mata kuliah Kapita selekta Hukum Islam dan sejarah hukum islam pada fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Menurutnya, teori exostensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangjan tentang adanya hukum Islam didalan hukum Nasional.

    Bentuk existensi hukum Islam adalah; (1). Bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2). Keberadaan, kemandirian, kekuatan dan wibanyan diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3). Norma-norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, (4). Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.

    Existensinya hukum islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan. Seperti undang penyelenggaran ibadah haji, pengelolaan zakat dan perbankan syariah. Dapat dikatakan juga sebagai hukum yang tak tertulis karena dalam praktiknyam masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti do’a dalam kenegaraan, peringatan Isra’ mi’raj, Nuzulul Qur’an, Maulid Nabi dan lain acara lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Praktik-praktik inilah yang disebut oleh Ichtijanto sebagai teori existensi.

3. Implementasi Hukum Islam
    Kekuatan Islam akan selalu memberikan kontrol terhadap subtansi atau materi peraturan perundang-undangan yang ada, selama tidak bertentangan dengan nilai serta norma Islam, maka peraturan perundangan tersebut akan direkomendasi oleh kekuatan Islam, sebaliknya bila ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan syariat Islam, kekuatan Islam akan meluruskan sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran Islam.

    Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua:
1). Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
2). Hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan kemasyarakatan. Ini bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana.

    Salim dan Azyumardi Azra memaparkan, ada lima aturan hukum yang secara kuat dipengaruhi oleh syariat, telah dilegislasikan dalam hukum positif dimasa presiden Soeharto yaitu UU Perkawinan, Peraturan Wakaf, Peradilan Agama, hukum yang membolehkan beroperasinya Perbankan Islam, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terkait dengan kodifikasi hukum keluarga dalam Islam, termasuk aturan waris.

    Semasa pemerintahan presiden Habibie (1998-1999) ada tambahan dua undang-undang yang mencakup Penyelenggaraan Haji dan Pengelolaan Zakat. Semua produk hukum tersebut mengakomodir unsur-unsur hukum Islam yang diterapkan tanpa harus mencantumkan referensi apapun kepada Piagam Jakarta. 
    
    Eksistensi hukum Islam patut diperhitungkan. Artinya, kontribusi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional telah memiliki kekuatan normatif dan kehadirannya semakin memperkuat wibawa hukum Islam di Indonesia.

    Beberapa produk hukum di atas hanya menyangkut hukum ibadah, keluarga, dan muamalah saja, tidak ada yang secara spesifik mengatur tentang hukum pidana Islam (jinayah). Walaupun hukum pidana Islam diatur dalam UU No. 11 / 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Akan tetapi pemberlakuan aturan ini, hanya khusus diterapkan di Aceh, tidak diberlakukan secara nasional di wilayah Nusantara.

    Demikian juga UU No. 44 / 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, menuntut implementasi syari’ah bagi masyarakat Islam dan memberi kuasa kepada pemerintah Aceh untuk membuat kebijakan dalam kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama. Otonomi khusus bagi Aceh memberikan izin bagi pembentukan Mahkamah Syariah yang mempunyai kuasa bukan hanya dalam masalah hukum keluarga dan harta warisan sebagaimana yang diatur oleh Pengadilan Agama, tapi juga kasus-kasus kriminal /jinayah atau pidana.

    Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam, yang disebut juga hukum jinayat. Undang-undang yang menerapkannya disebut Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun sebagian besar hukum Indonesia yang sekuler tetap diterapkan di Aceh, pemerintah provinsi dapat menerapkan beberapa peraturan tambahan yang bersumber dari hukum pidana Islam.

    Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal. Beberapa pelanggaran yang diatur menurut hukum pidana Islam meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol, perjudian, perzinahan, bermesraan di luar hubungan nikah, dan seks sesama jenis. Setiap pelaku pelanggaran yang ditindak berdasarkan hukum ini diganjar hukuman cambuk, denda, atau kurungan.

    Pendukung hukum jinayat membela keabsahannya berdasarkan status otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, dan mereka menegaskan bahwa wewenang tersebut dilindungi undang-undang sebagai hak kebebasan beragama untuk masyarakat Aceh. Para penentangnya, termasuk Amnesty International, menolak hukuman cambuk dan pemidanaan hubungan seks di luar nikah, sementara pegiat-pegiat hak perempuan merasa bahwa hukum ini tidak melindungi perempuan, khususnya korban pemerkosaan yang dianggap lebih berat beban pembuktiannya dibandingkan dengan tersangka yang bisa lepas dari tuduhan dengan lima kali sumpah.

    Meski demikian, dinamika yang bermunculan baik dari aspek sosial, politik, hukum, dan budaya, tidak menyurutkan semangat pemerintah maupun masyarakat Aceh untuk terus menggelorakan syariat Islam. Islam telah mendarah daging dalam masyarakat Aceh baik dalam tatanan sosial maupun budayanya. Hanya saja perlu formulasi yang lebih progresif dan menyentuh substansi syariat Islam itu sendiri sehingga existensi syariat Islam di Aceh berdampak positif dan menjadi ruh dalam setiap nadi kehidupan masyarakat Aceh.

Kesimpulan
    Berdasarkan pembahasan mengenai Hukum Islam dalam teori dan praktek tersebut dapat dirangkum beberapa kesimpulan dan gambaran sebagai berikut Al Qur’an dan literatur Hukum Islam sama sekali tidah menyebut Hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada dalam Al Qur’an adalah Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata “hukum” dalam Islam (hukum Islam) sering dikonotasikan pada dua hal yaitu fiqh dan syariat. Dengan kata lain Fiqih dan Syariah meruapakan landasan dalam hukum islam.

    Ada beragam teori yang mewarnai proses penerapan hukum islam, diantaranya Teori Penerimaan Otoritas Hukum (Muslim akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam), Teori Receptie in Complexu (Periode penerimaan hukum  islam secara penuh), Teori Receptie (hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh masyarakat adat), Teori Receptie Exit (Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah), Teori Receptie a Contrario dan Teori existensi (hukum adat berada dibawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam).

    Pada tahap implementasi, existensi hukum islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan. Eksistensi hukum Islam patut diperhitungkan. Artinya, kontribusi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional telah memiliki kekuatan normatif dan kehadirannya semakin memperkuat wibawa hukum Islam di Indonesia.

    Aceh merupakan contoh kongkrit implementasi hukum/syariat Islam di Indonesia, meski belum teraktualisasi secara paripurna, namun semangat menggelorakan Syariat Islam di Serambi mekah patut dibanggakan. Syariat islam haruslah mendamaikan, mensejahterakan dan memakmurkan sebuah bangsa.

*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Lhokseumawe, Hukum Keluarga Islam (2019).
------------------------------

Daftar Pustaka:
Barzah dkk, Buku Ajar Hukum Islam, Cet. I, Jogyakarta: Depublish, 2017
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari semenanjung Arabia sampai ke Indonesia, cet. II, Jogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016.
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektik Tata Hukum Indonesia, Cet. I, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Dahlia Halia, “Eksistensi Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Al-Syirah, Vol 15, No.1 Tahun 2017.
Muhammad Juliyanto, Implementasi Hukum Islam di Indonesia, Sebuah perjuangan politik konstitualisme, UIN Surakarta.
https://www.dakwatuna.com /2007/01/04/37/pengantar-ushul-fiqh/
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_jinayat_di_Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar