Konsep
Negara Hukum (Rechstaats)
Konsep negara hukum Rule of Law merupakan konsep negara yang dianggap paling ideal saat ini, meskipun konsep tersebut dijalankan dengan persepsi yang berbeda-beda. Terhadap istilah “rule of law” ini dalam bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan sebagai “supremasi hukum” (supremacy of law) atau “pemerintahan berdasarkan hukum.” Di samping itu, istilah “negara hukum” (government by law) atau rechstaats, juga merupakan istilah yang sering digunakan untuk itu.
Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum (government by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa.
Sejak kelahirannya, konsep negara hukum atau rule of law ini memang dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abus de droit). Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk pada hukum yang sama, yakni tunduk kepada hukum yang adil.
Menurut Dicey, bahwa ada tiga arti dari rule of law, yaitu sebagai berikut:
1. Supremasi
absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan penguasa;
2. Berlakunya
prinsip persamaan dalam hukum (equality before of law), semua orang
harus tunduk pada hukum dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above
the law);
3. Konstitusi
merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan.
Ahli hukum Lon Fuller dalam bukunya The
Morality of Law menyebutkan tentang bagaimana seharusnya wajah
sistem hukum dalam suatu negara hukum sebagai berikut: (1) hukum harus dituruti
oleh semua orang, termasuk penguasa negara (2) hukum harus dipublikasikan (3)
hukum harus berlaku ke depan, tidak berlaku surut (4) kaidah hukum harus
ditulis secara jelas (5) hukum harus menghindari dari kontradiksi-kontradiksi
(6) hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin terpenuhi (7) hukum
harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum (8) tindakan para aparat
pemerintahan dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.
Namun demikian, selain dari elemen-eleman tersebut
masih terdapat beberapa hal krusial dan substantif untuk diterapkan sehingga
hukum menjadi hidup dan senafas dengan tatanan negara hukum, antara lain
adalah:
1. Hukum
dibuat secara sah oleh pihak yang memiliki kewenangan yang sah;
2. Hukum
harus memenuhi persyaratan yuridis, sosiologis, ekonomis, moralitas, filosofis,
modern dan progresif;
3. Hukum
harus selalu rasional;
4. Hukum
harus bertujuan untuk mencapai kebaikan, keadilan, kebenaran, ketertiban,
efisiensi, kemajuan, kemakmuran, dan kepastian hukum;
5. Hukum
harus komunikatif, transparan, dan terbuka/diakses oleh masyarakat;
6. Hukum
harus aplikatif;
7. Hukum lebik baik mencegah pelanggaran daripada menghukum pelaggaran.
Konsep negara hukum dari konteks teori dan aplikasinya dibedakan menjadi:
a. Konsep
negara hukum liberal, yaitu negara yang hanya menjaga ketertiban masyarakat,
dan tidak terlalu aktif dalam menjaga/mengurusi keperluan rakyat. Jadi mirip
dengan konsep “negara polisi” atau “negara penjaga malam” (nachtwachter staat).
b. Konsep
negara hukum formal, yaitu negara yang dimana pemerintahannya dan seluruh
cabang pemerintahannya tunduk kepada hukum tertulis yang berlaku, seperti
konstitusi dan Undang-undang. Lebih lanjut sebagaimana yang dikembangkan oleh
Freidrich Julius Stahl, haruslah memenuhi persyaratan seperti (1) adanya
pengakuan terhadap HAM (2) adanya pemisahan kekuasaan (3) pemerintahan
dijalankan berdasarkan Undang-undang (hukum tertulis), dan (4) adanya
pengadilan administrasi.
c. Konsep
negara hukum substantif/material, yaitu negara yang didasarkan kepada hukum,
tetapi tidak terbatas kepada hukum yang formal semata-mata, melainkan hukum
yang adil yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Karena itu dalam
perkembangannya, konsep ini berjalan seiring dengan konsep negara
berkesejahteraan sosial (sosial walfare state, wohlfhrt staat).
Jika dicermati dinamika yang terjadi saat ini, maka konsep rule of law tidaklah berhenti hanya sebatas menegakkan hukum positif belaka, yang dalam banyak hal tidak adil tersebut, terutama dalam penerapannya. Untuk menghindari tergelincirnya konsep rule of law menjadi rule of unjust law, yang diperlukan adalah penegakan hukum yang adil, sehingga yang lebih tepat dari konsep istilah rule of law adalah “rule of justice” atau setidak-tidaknya adalah “the rule of just law”.
Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)
Doktrin
tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan doktirn
yang sebenarnya terdapat dan dikembangkan dalam ilmu managemen modern, tetapi
kemudian menyusup juga dan diterima ke dalam dunia hukum. Manakala doktrin good
governance ini diterapkan ke dalam sistem pemerintahan, disebut dengan istilah good
governace saja. Dan, manakala doktrin good governance ini diterapkan
ke dalam managemen perusahaan biasa misalnya, maka untuk hal itu akan disebut
dengan istilah Good Corporate Governance.
Doktrin
tata kelola pemerintahan yang baik good governance adalah suatu doktrin
yang mengharuskan suatu pemerintahan berjalan secara baik, benar dan penuh integritas.
UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan
dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :
a. Partipasi (participation), yaitu setiap orang
atau warga masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan,
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik langsung
maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya
masing-masing;
b. Aturan
Hukum (rule of law), yaitu Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan
harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum
tentang hak asasi manusia;
c. Transparansi
(transparency), yaitu Transparansi harus dibangun dalam kerangka
kebebasan aliran informasi;
d. Daya
Tanggap (responsiveness), yaitu Setiap institusi dan prosesnya
harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders);
e. Berorientasi
Konsensus (consensus orientation), yaitu Pemerintahan yang baik
akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk
mencapai konsesus atau
kesempatan yang terbaik
bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan
juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan
ditetapkan pemerintah;
f. Berkeadilan
(equity), yaitu Pemerintahan yang
baik akan memberi kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun
perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas
hidupnya;
g. Efektif
dan efisien (effectivieness and efficiency), yaitu setiap proses
keiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan berbagai sumber-sumber yang
tersedia dengan sebaik-baiknya.
h. Akuntabilitas
(accountability), yaitu para pengambil keputusan dalam organisasi sektor
publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban
(akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para
pemilik kepentingan (stakeholders);
i. Visi Strategis
(strategic holders), yaitu
Para pemimpin dan
masyarakat memiliki perspektif
yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan
tersebut.
Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut saling memperkuat dan terkait serta tidak berdiri sendiri.
Salah satu keuntungan dari sistem pemerintahan yang menerapkan prinsip-prinsip good governance adalah bahwa pemerintahan tersebut akan terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela, terutama yang diakukan oleh pihak insider pemerintahan.
Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi yang satu sama lain saling kait mengkait dalam menerapkan good governance ke dalam suatu pemerintahan, yaitu;
1. Aturan
hukum yang baik, yaitu seperangkat aturan hukum yang mengatur hubungan antara
warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers, lingkungan hidup,
serta stakeholder lainnya;
2. Law
enforcement, yaitu seperangkat mekanisme yang secara langsung atau tidak
langsung mendukung upaya penegakan aturan hukum;
3. Sistem
pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, akuntabel, dan
berwawasan hak asasi manusia;
4. Sistem
pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dan egaliter;
5. Sistem
pemerintahan yang kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
Dapat dikatakan bahwa antara good governance dengan konsep negara hukum, pada prinsipnya berjalan seiring dan memiliki tujuan yang serupa. Pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga sebaliknya, pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu memperhatikan dan menerapkan prinsip good governance.
Tujuan Hukum dan Pemerintahan dalam Kehidupan Bernegara
Dalam
era modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami
sebagai jelmaan dari kompromi warga negara melalui perjanjian sosial antara
warga masyarakat. Kebutuhan negara menjadi kebutuhan bersama untuk melindungi
dan memenuhi hak-hak individu serta menjaga tertib kehidupan bersama. Kebutuhan
tersebut dalam proses perjanjian sosial termanifestasi menjadi cita-cita atau
tujuan nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi perekat antara berbagai
komponen bangsa.
Untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara, kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan dalam konstitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam kehidupan berbangsa (the general goals of society of general acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar sebagai landasan penyelenggaraan dan pemerintahan (the basis of government) dan (3) tentang institusi dan prosedur penyelenggaraan negara (the form of institutions and procedur).
Agar negara yang dibentuk dan diselenggarakan dapat berjalan untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasional, dibentuklah organisasi negara yang terdiri dari berbagai lembaga negara yang biasanya dibedakan menjadi cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun demikian, saat ini organisasi negara telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan urusan negara dan pelayanan kepada masyarakat, kelembagaan dalam organisasi negara berkembang sedemikian rupa baik dari sisi jumlah, maupun sisi jenis kewenangan yang dimiliki. Untuk pelaksanaan pemilu misalnya dibentuklah Komisi Peimilihan Umum (KPU) yang bersifat tetap, nasional dan mandiri. KPU tentu tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Setiap lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara dapat memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta dapat mewujudkan tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi negara dapat diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Untuk menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechstaats maupun rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (soft ware) yang mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara.
Secara teoritis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Keadilan, Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.
Kepastian Hukum, Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Namun demikian antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
Kemanfaatan, Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping untuk menegakkan keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. Dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari setiap organisasi penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara tujuan hukum dan tujuan pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi piranti lunak yang mengarahkan pencapaian tujuan nasional, sedangkan pemerintahan yang menggerakkan agar tujuan tersebut dapat dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, William
G. Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, New Jersey: Van Nostrand
Company, 1968.
Dicey, A.V. Introduction
to the Study of the Law of the Constitution. Tenth Edition, London:
Macmillan Education LTD, 1959.
Fuady, Munir. Teori
Negara Hukum Modern (Rechstaat), Bandung; Refika Aditama, Cet II, 2011.
Moh. Mahfud MD, Penegakan
Hukum dan Tata kelola Pemerintahan yang baik, Seminar Nasional “Saatnya
Hati Nurani Bicara”, Jakarta, DPP Partai Hanura, 2009.
Meri Yarni,
Latifah Amir, “Penguatan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagai Pilar Penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Fak. Hukum Universitas Jambi, 2014.
https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/03/bab-13-tata-kelola-pemerintahan.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar