oleh: Mahlil Zakaria
A. WASIAT
Pengertian secara bahasa, syara’ dan KHI Wasiat berasal dari bahasa arab al-washsiyah dalam bentuk tunggal, sedangkan
jama’nya adalah washsaya, secara bahasa antara lain berarti pesan, perintah,
dan nasihat. Ulama’ mendefinisikan wasiat dengan penyerahan harta secara
sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut
wafat, baik harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.
Menurut Sayyid
Sabiq wasiat (washiyah) itu diambil dari kata washsaitu asys-sysaia,
ushsihi, artinya Aushsaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Orang
yang berwasiat atau mushi adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu
dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati. Dalam Istilah syara’, wasiat itu
adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati.
Menurut
Pasal 171 huruf f KHI Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Wasiat
dalam al-Qur’an Dasar hukum wasiat disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 180-182 Allah
SWT berfirman:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ
فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗ
ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۗ فَمَنْ
خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ
ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Diwajibkan kepadamu,apabila seseorang di antara kamu didatangi
(tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak),
berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. Siapa yang mengubahnya
(wasiat itu), setelah mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang
mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Akan
tetapi, siapa yang khawatir terhadap pewasiat (akan berlaku) tidak adil atau
berbuat dosa, lalu dia mendamaikan mereka, dia tidak berdosa. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Wasiat dalam Ketentuan KHI Dalam Kompilasi Hukum Islam Wasiat
diatur pada Bab V dari pasal 194 s/d pasal 209
Pewasiat,
Kepemilikan dan Tata Cara Wasiat (Ps. 194 s/d 196) Orang yang
telah
berumur
sekurang-kurangnya
21 tahun,
berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat dan Pemilikan terhadap harta benda
baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Wasiat dilakukan
secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. Wasiat hanya
diperbolehkan
sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta
warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris. Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa- siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Batalnya
Wasiat (Ps. 197) Wasiat
menjadi batal
apabila calon penerima wasiat berdasarkan
putusan Hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
- dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
- dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatanya ng diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
- dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
- dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
- tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
- mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
- mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Wasiat
hasil/pemanfaatan (Ps. 198) Wasiat
yang berupa hasil
dari suatu
benda
ataupun
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu.
Pencabutan
Wasiat (Ps. 199) Pewasiat
dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima
wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali. Pencabutan wasiat dapat dilakukan
secara lisan dengan
disaksikan oleh dua orang
saksi
atau tertulis dengan disaksikan
oleh dua prang saksi atau
berdasarkan akte
Notaris bila
wasiat terdahulu dibuat secara lisan. Bila
wasiat dibuat
secara
tertulis, maka hanya dapat dicabut
dengan cara tertulis
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris dan Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
Wasiat
Barang tak bergerak (Ps. 200) Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena
suatu
sebab yang sah mengalami penyusutan
atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat
meninggal
dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.
Wasiat
melebihi 1/3 (Ps. 201) Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Wasiat
yang didahulukan (Ps. 202) Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan
harta wasiat tidak mencukupi,
maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Penyimpanan
Surat Wasiat tertutup dan dicabut (Ps. 203) Apabila surat
wasiat
dalam
keadaan
tertutup, maka
penyimpanannya di tempat Notaris
yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. Bilamana
suatu
surat wasiat dicabut maka
surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pembukaan
Surat Wasiat (Ps. 204) Jika pewasiat meninggal
dunia, maka
surat wasiat yang
tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka
olehnya di hadapan
ahli waris, disaksikan
dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu. Jika
surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka
penyimpan harus menyerahkan
kepada
Notaris setempat atau Kantor
Urusan Agama setempat
dan
selanjutnya Notaris
atau KUA tersebut membuka sebagaimana
ditentukan
tersebut. Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Wasiat
dalam peperangan atau dilaut (Ps. 205) Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran
atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan
atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi
sedangkan Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim
kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat
di
hadapan
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Wasiat tidak boleh untuk
Perawat, Rohaniawan, Notaris dan Saksi (Ps. 207-208) Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Wasiat anak
dan Orang tua angkat (Ps. 209) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan
Pasal 176 s/d Pasal 193 KHI, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
B. HIBAH
Pengertian secara bahasa, syara’ dan KHI Kata hibah berasal dari bahasa Arab dari kata (الهِبَةُ)
yang berarti pemberian yang dilakukan seseorang saat dia masih hidup kepada
orang lain tanpa imbalan (Cuma-Cuma), baik berupa harta atau bukan harta.
Imam an-Nawawi menjelaskan tentang hibah sebagai
pemberian cuma-cuma (tabarru’) dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i
menyatakan, ‘Pemberian harta oleh manusia tanpa imbalan (tabarru’) kepada orang
lain terbagi menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan kematian yaitu wasiat
dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini terbagi menjadi dua
jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-mahdh) seperti
hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf.
Menurut Pasal 171 huruf g KHI Hibah adalah pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain
yang masih hidup untuk dimiliki.
Hibah dalam al-Qur’an salah
satu dasar hukum dibolehkannya hibah disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 4.
Allah SWT berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ
هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Rukun Hibah menurut ulama Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat
rukun yaitu orang yang memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb
lahu), benda yang diberikan (al-mauhûb) dan tanda serah terima (shighat)
Hibah dalam Ketentuan KHI
diatur pada Bab V dari pasal 210
s/d pasal 214
Penghibah dan hibah 1/3
(Ps. 210) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal
sehat tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki dan Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Hibah
orang tua kepada anak (Ps. 211-212) Hibah dari orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tidak dapat ditarik
kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Hibah persetujuan Ahli waris (Ps. 213) Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Hibah WNI di luar negeri (Ps. 214) Warga negara Indonesia
yang berada di negara asing dapat
membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan
Republik Indonesia setempat sepanjang
isinya tidak bertentangan
dengan ketentuan pasal-pasal ini.
Sumber: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1 TAHUN 1991 TENTANG PENYEBARLUASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) bukanlah suatu undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan disahkan presiden, namun kedudukannya sebagai suatu kompilasi hukum harus dimaknai sebagai hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan dijadikan rujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar