Pokok-Pokok Qanun KKR Aceh

POKOK-POKOK QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

Mahlil Zakaria, S.H.*

     A.  LATAR BELAKANG

Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding Between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement  Helsinki 15 Agustus 2005) dan perintah Pasal 229, Pasal 230, Pasal 259 dan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR), haruslah  dibentuk  sebagai  sarana mencari kebenaran dan keadilan terhadap berbagai pelanggaran HAM di masa lalu haruslah diselesaikan dengan arif, bijaksana dan bermartabat.

Dengan mencermati atas keinginan sungguh-sungguh semua elemen masyarakat di Aceh untuk bisa menikmati kehidupan yang sejahtera di masa damai, maka perjalanan sejarah Aceh dalam priode masa konflik yang meninggalkan konstruksi sejarah dan pengalaman pahit haruslah segera diperbaiki guna mencapai sebuah Kebenaran atas sejarah yang hakiki. Penyelesaian permasalahan hak asasi manusia tersebut semata-mata dimaksudkan untuk menghormati harkat dan martabat korban sebagai anugerah Tuhan yang mulia dan suci, disamping dimaksudkan untuk menghapus dampak buruk dari akibat permasalahan masa lalu yang belum selesai, serta menghilangkan permusuhan dan dendam antara sesama.

Didasari atas keinginan luhur tersebut, melalui KKR diharapkan akan mempererat ukhuwwah dan silaturrahmi diantara sesama anak bangsa, karena melalui rekonsiliasi tersebut akan terjadi saling maaf dan saling menghargai satu sama lain diantara sesama.

Dalam rangka mewujudkan semua komitmen luhur tersebut diperlukan suatu peraturan yang dapat mengatur mekanisme pelaksanaannya, sehingga guna merealisasikannya haruslah diatur dalam Qanun Aceh.

B.  DEFINISI ISTILAH PENTING

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999   tentang   Hak   Asasi   Manusia   dan   tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran HAM yang berat adalah pelanggaran HAM terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata di Aceh, merekomendasikan tindak lanjut, merekomendasikan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.

Kebenaran adalah kebenaran hasil temuan KKR Aceh atas suatu peristiwa pelanggaran HAM, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.

Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, dan penerimaan kembali korban dan pelaku oleh komunitas, melalui KKR Aceh dengan menggunakan mekanisme adat Aceh dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.

Reparasi adalah hak korban atas perbaikan atau pemulihan yang wajib diberikan oleh negara kepada korban karena kerugian yang dialaminya, baik berupa restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan ketidakberulangan dan hak atas kepuasan.

Restitusi adalah ganti kerugian berupa materi atau ekonomi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berupa pengembalian hak-hak korban yang telah dilanggar dan dirampas secara tidak sah.

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya atas kerugian ekonomi yang proporsional dengan pelanggaran yang dialami korban untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, termasuk pemulihan kondisi fisik, psikis, maupun status sosial, melalui pemberian layanan medis, psikologis, hukum, dan sosial pada korban sesuai kebutuhannya.

Hak atas kepuasan adalah untuk memuaskan korban yang termasuk di dalamnya  dihentikannya pelanggaran, pengakuan kebenaran, pencarian orang hilang termasuk penggalian kuburan massal, deklarasi resmi atau putusan judisial yang memulihkan martabat korban, permintaan maaf resmi, sanksi terhadap pelaku, penghargaan korban melalui peringatan dan monumen.

Korban adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban juga ahli warisnya.

Pelaku adalah Setiap orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual maupun institusi atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan komisi untuk mencari dan menemukan peristiwa ada tidaknya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa konflik Aceh dengan tetap berlandaskan pada prinsip kemanusiaan dan pembuktian berimbang guna ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Qanun ini.

Pengakuan adalah pernyataan dihadapan komisi dalam bentuk lisan atau tertulis oleh pelaku pelanggaran hak asasi manusia tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya atau ikut dilakukannya.

Pengungkapan Kebenaran adalah serangkaian tindakan komisi untuk mencari dan menemukan peristiwa pelanggaran HAM yang tidak berat pada masa konflik di Aceh untuk tujuan rekonsiliasi korban dan pelaku yang meliputi pengumpulan informasi dan dokumen, investigasi, pengambilan pernyataan dan publikasi.

Investigasi adalah salah satu tindakan komisi dalam mengungkapkan kebenaran tentang tindak pelanggaran HAM yang tidak berat, yang dilakukan berdasarkan informasi dan data yang terkumpul untuk menemukan korban, pelaku, dan bentuk pelanggaran guna rekonsiliasi.

C.  ASAS, TUJUAN, KELEMBAGAAN DAN FUNGSI

KKR berasaskan: keislaman, ke-Aceh-an, independensi, imparsial, non-diskriminasi, demokratisasi, keadilan dan kesetaraan; dan kepastian hukum.

KKR Aceh bertujuan:

  1. memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhdapa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu;
  2. membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun lembaga dengan korban; dan
  3. merekomendasikan    reparasi    menyeluruh    bagi    korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.

KKR dalam mencapai tujuannya berdasarkan pada prinsip kerja: partisipasi. Transparansi, mengutamakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban, menolak pengampunan (impunitas), hak jawab bagi pelaku, pembuktian yang berimbang, pertanggungjawaban individu dan institusi, pencegahan keberulangan (preventive), komplementer, pendekatan keberagaman, perspektif gender dan profesionalitas.

Susunan dan Kedudukan Lembaga KKR. Anggota KKR berjumlah 7 (tujuh) orang, 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang Wakil ketua merangkap anggota; dan c. 5 (lima) orang Anggota. Ketua dan wakil ketua dipilih oleh DPR Aceh dan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang perempuan.

Kelompok Kerja Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Komisi dibantu oleh Kelompok Kerja.Ketua Pokja, berasal dari salah seorang anggota KKR Aceh; dan Anggota, berasal dari selain unsur KKR Aceh, berjumlah genap paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 6 (enam) orang. Kelompok terdiri atas: Bidang Pengungkapan kebenaran, bidang perempuan, bidang Reparasi, bidang perlindungan saksi dan korban, bidang dokumentasi dan publikasi; dan bidang Rekonsiliasi;

KKR Aceh bersifat nonstruktural dan independen, berkedudukan di Ibukota Aceh, bertanggungjawab kepada Gubernur Aceh dan DPRA.

KKR bertugas:

  1. menyusun mekanisme pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi;
  2. mengumpulkan informasi dari organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional, yang dilakukan atas inisiatif organisasi tersebut ataupun permintaan KKR Aceh sepanjang masi dalam lingkup kompetensi KKR Aceh;
  3. melakukan penyelidikan untuk mencapai tujuannya termasuk mendapatkan laporan-laporan, dokumen-dokumen, atau bukti-bukti dari pihak berwenang dan badan pemerintah;
  4. menerima pernyataan dan bukti lainnya dari para korban, perwakilan, ahli waris atau kerabat korban;
  5.  bertanggung jawab menjaga kerahasiaan orang yang melapor dan memberikan kesaksian;
  6. memberikan perlindungan kepada saksi dan korban serta orang-orang yang terlibat dalam proses pengungkapan kebenaran, apabila dibutuhkan;
  7. menjaga arsip-arsip yang berkaitan dengan pelanggaran HAM untuk mencegah penyalahgunaan dan penghancuran arsip- arsip dan/atau barang bukti lainnya;
  8. melaporkan temuan tentang pelanggaran HAM dan dugaan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti dan fakta yang telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab dan peristiwa yang melatarbelakangi, motivasi politik dan/atau ekonomi, tindakan dan aktor baik lembaga negara maupun non-negara serta dampaknya; dan
  9. menyampaikan laporan akhir kepada pemerintah Aceh, DPRA, Pemerintah, lembaga-lembaga penegakan HAM dan publik.

Untuk menyelenggarakan fungsi KKR Aceh berwenang:

  1. mendapatkan akses pada semua sumber informasi yang diperlukan untuk penyelidikan   dalam bentuk dokumen tertulis ataupun keterangan lisan yang berasal dari institusi pemerintah maupun non pemerintah;
  2. mendapatkan keterangan atau pernyataan dari setiap orang atau institusi yang terkait dengan peristiwa yang sedang diselidiki;
  3. mendapatkan seluruh informasi dari semua proses pemeriksaan perkara, persidangan dan putusan pengadilan untuk mendukung proses penyelidikan;
  4. mendapatkan dukungan resmi terhadap pelaksanaan tugas komisi dari institusi negara dan asistensi teknis yang diperlukan untuk pencapaian tujuan pembentukan komisi;
  5. membangun dukungan kerjasama dengan institusi non negara baik nasional maupun internasional untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tujuan pembentukan komisi;
  6. menyebutkan nama-nama pelaku yang terkait dengan pelanggaran HAM;
  7. melakukan pemulihan nama baik terhadap kekeliruan penyebutan nama-nama pelaku;
  8. menjaga dan menyimpan seluruh informasi yang diperoleh dalam   penyelidikan   untuk   kepentingan pemenuhan hak korban atau pelaku;
  9. membuka informasi yang diperoleh dalam penyelidikan dalam hal dan kepada pihak-pihak yang dalam pertimbangan komisi tidak merugikan korban dan pelaku;
  10. mengundang korban, saksi   dan   atau   institusi   untuk mendukung proses penyelidikan;
  11. meminta lembaga atau institusi yang berwenang untuk memberikan perlindungan bagi saksi, korban dan pelaku yang mengaku;
  12. merekomendasikan langkah-langkah reparasi yang adil bagi para korban;
  13. merekomendasikan langkah-langkah legal dan administrasi guna mencegah tindakan-tindakan keberulangan dari pelanggaran HAM masa lalu; dan
  14. memastikan pemerintah melaksanakan seluruh rekomendasi komisi.

Syarat dan kriteria anggota KKR. WNI berdomisili di Aceh, mampu membaca Al-Qur’an, umur minimal 30 tahun dan maksimal 65 tahun, pendidikan paling rendah strata satu (S1), bukan anggota partai politik, TNI, Polri, atau pegawai negeri sipil (PNS); bukan pelaku ataupun yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM, pelaku tindak pidana korupsi atau pelaku tindak pidana lainnya, memiliki keberpihakan kepada korban, terutama korban pelanggaran HAM, memiliki komitmen dalam penegakan HAM, memiliki pemahaman dan visi tentang kerja-kerja pengungkapan kebenaran, pemulihan korban dan rekonsiliasi, memahami kearifan lokal dan konteks konflik Aceh; tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih, kecuali tindak pidana politik; dan tidak merangkap jabatan dengan jabatan publik lainnya.

DPR Aceh membentuk panitia seleksi yang independen, terdiri dari 5 (lima) orang dari unsur masyarakat, diantaranya 2 (dua) orang perempuan. Panitia Seleksi menyerahkan 21 (dua puluh satu) nama calon Anggota KKR Aceh kepada DPR Aceh dengan ketentuan 30 % (tiga puluh persen) diantaranya perempuan. DPRA melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk memilih 7 (tujuh) orang Anggota KKR Aceh sekaligus memilih Ketua dan Wakil Ketua KKR Aceh.

Pertanggungjawaban. KKR  melaporkan perkembangan  kerjanya kepada Gubernur dan DPRA secara periodik setiap 6 (enam) bulan, akhir tahun, karena hal-hal khusus; dan pada akhir masa jabatan bersifat terbuka untuk umum dan dapat disebarluaskan melalui media massa.

Penyusunan Laporan. KKR wajib menyusun laporan yang memuat tentang pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti dan fakta yang telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab, peristiwa yang melatarbelakangi, motifasi politik dan atau ekonomi, tindakan dan aktor baik lembaga negara maupun non-negara serta dampaknya.

Laporan disampaikan kepada Gubernur, DPR Aceh, Pemerintah dan publik. Laporan bersifat terbuka untuk umum kecuali yang berkaitan dengan identitas korban.

Lapotan harus membuat rekomendasi demi perlindungan hak asasi manusia untuk: perubahan hukum, politik dan administratif, pelaksanaan mekanisme rekonsiliasi, reparasi pada korban, tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM; dan tindakan lainnya.

D.  PENGUNGKAPAN KEBENARAN

Pengungkapan Kebenaran dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan/atau diluar Aceh sepanjang memiliki keterkaitan dengan konflik Aceh dan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Tahap pertama tanggal 4 Desember 1976 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2005; dan
  2. Tahap kedua sebelum tanggal 4 Desember 1976.

Tahapan pengungkapan kebenaran tahap kedua dilakukan setelah tahap pertama selesai pelaporannya. Pelanggaran HAM yang diutamakan untuk diungkap kebenarannya adalah hak-hak asasi yang paling mendasar yaitu Hak ekonomi, sosial dan budaya dan Hak sipil dan politik.

Pengungkapan kebenaran bertujuan:

  1. mendorong perubahan kebijakan dan perbaikan lembaga-lembaga yang telah mengakibatkan pelanggaran di masa lalu;
  2.  mendapatkan informasi yang akurat tentang pelanggaran HAM dan dugaan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti dan fakta yang telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab, peristiwa yang melatarbelakangi, motifasi politik dan/atau ekonomi, tindakan dan aktor baik lembaga negara maupun non-negara serta dampaknya;
  3. memenuhi hak korban untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan; dan
  4. meluruskan sejarah Aceh.

Mekanisme Pengungkapan kebenaran. dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan dokumen terkait, pengambilan pernyataan; dan investigasi. Dalam melakukan pengungkapan kebenaran dapat bekerja sama dengan lembaga Pemerintah dan non Pemerintah baik dalam maupun luar negeri.

Pengumpulan Informasi dan Dokumen. KKR Aceh berhak meminta organisasi Pemerintah dan organisasi non Pemerintah untuk menyerahkan data dan dokumen terkait. Informasi dan dokumen yang sudah terkumpul, dijadikan dasar untuk melakukan tahapan selanjutnya dalam pengungkapan kebenaran. KKR Aceh dapat mengumpulkan informasi lainnya secara langsung dari masyarakat, meminta pertimbangan para ahli atau lembaga yang mempunyai keahlian berkenaan dengan informasi dan dokumen terkait dan Tatacara pengumpulan informasi dan dokumentasi ditetapkan dalam Peraturan KKR Aceh.

Pengambilan pernyataan. KKR Aceh dapat melakukan pengambilan pernyataan secara langsung atau tidak langsung, melakukan pengambilan pernyataan secara terbuka di depan publik atau secara tertutup. Pengambilan pernyataan yang berkaitan dengan kekerasan seksual harus dilakukan secara tertutup kecuali atas permintaan korban. Atas permintaan korban, dalam pengambilan pernyataan korban dapat didampingi pendamping yang ditunjuk oleh korban. KKR Aceh berhak meminta para pihak untuk memberikan pernyataan sesuai dengan tatacara yang   diatur dalam Peraturan KKR Aceh.

Investigasi. KKR Aceh dapat melakukan investigasi secara langsung atau membentuk tim investigasi independen. Mekanisme pembentukan tim investigasi independen dan tata cara pelaksanaan investigasi diatur dalam Peraturan   KKR Aceh.

Seluruh dokumen yang diperoleh dalam tahapan pengungkapan kebenaran yang telah diverifikasi dikumpulkan oleh KKR Aceh. KKR Aceh melakukan pengolahan data dengan tatacara dan sistem pengolahan data yang diatur dalam Peraturan KKR Aceh. Hasil akhir pengungkapan kebenaran menjadi dokumen resmi Pemerintah Aceh. Dokumen tersebut ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan KKR Aceh mempublikasikan pengungkapan   kebenaran melalui media massa.

E. REPARASI

Reparasi diberikan kepada individu dan atau kelompok setelah proses pengungkapan kebenaran yang menjadi tanggungjawab Pemerintah/Pemerintah Aceh/Pemerintah kabupaten/kota. Bentuk-bentuk reparasi terdiri dari restitusi, kompensasi, rehabilitasi, hak atas kepuasan dan jaminan atas ketidakberulangan. Reparasi dilakukan dengan pendekatan reparasi mendesak dan reparasi komprehensif.

Upaya-upaya   yang   pernah   dilakukan   oleh   pemerintah Aceh/Pemerintah Kabupaten Kota dan berbagai pihak lainnya yang dapat digolongkan sebagai kegiatan reparasi diakui sebagai reparasi mendesak. Penggolongan reparasi ditetapkan oleh KKR Aceh. KKR Aceh dapat merekomendasikan pelaksanaan reparasi mendesak sebelum proses pengungkapan kebenaran selesai dilakukan. Rekomendasi dapat dilakukan apabila korban membutuhkan pemulihan fisik dan atau psikis yang dikhawatirkan akan mengganggu proses pengungkapan kebenaran.

Tujuan Reparasi Reparasi bertujuan memberikan jaminan pada masyarakat bahwa Negara memberikan perlindungan HAM dalam situasi dan kondisi apapun dan memenuhi hak korban atas kerugian yang diderita serta pemulihan yang dibutuhkan oleh korban.

Reparasi untuk Rehabilitasi. Reparasi untuk tujuan rehabilitasi korban dapat dilakukan kerjasama dengan organisasi yang memiliki kemampuan untuk memberikan upaya rehabilitasi yang dibutuhkan dengan memperhatikan hak-hak dasar korban. Reparasi untuk tujuan rehabilitasi dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu:

  1.  jangka pendek, dalam bentuk pelayanan segera pada korban-korban yang paling rentan, dengan menggunakan berbagai metode dan media; dan
  2. jangka panjang, melalui pengumpulan informasi untuk merancang program yang wajib    dijalankan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari KKR Aceh.

Rekomendasi KKR Aceh terhadap reparasi mendesak bagi korban harus segera dilaksanakan.

Pelaksana Reparasi. Pemerintah Aceh dalam melaksanakan tanggungjawab dapat menunjuk suatu lembaga yang melaksanakan reparasi. Program reparasi yang dilakukan dilaksanakan dengan rekomendasi KKR Aceh. dalam melaksanakan tanggungjawab dapat bekerja sama dengan lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Aceh untuk melaksanakan reparasi.

F. REKONSILIASI

Rekonsiliasi hanya dapat dilakukan pada kasus-kasus yang tidak termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Rekonsiliasi dilakukan secara sukarela tanpa pemaksaan baik kepada korban maupun pelaku.

Rekonsiliasi dilakukan pada tingkat Gampong, Mukim, Kabupaten/Kota dan Aceh, dilakukan secara individual dan kolektif terhadap korban dan pelaku dalam masing-masing kasus.

Rekonsiliasi hanya dilakukan terhadap korban dan pelaku setelah proses pengungkapan kebenaran selesai. Rekonsiliasi yang telah terjadi tidak menutup kemungkinan untuk  dilakukannya penegakan hukum di pengadilan terhadap pelaku dalam kasus yang sama dan berkenaan dengan korban yang sama.

Dalam hal korban telah meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya maka rekonsiliasi dilakukan antara pelaku dengan keluarga korban. Dalam hal pelaku telah meninggal dunia maka rekonsiliasi dilakukan oleh institusi yang menaungi pelaku sebagai wakil pelaku dan/atau  keluarga pelaku dengan korban atau keluarga kocrban.

Tujuan Rekonsiliasi. merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban/keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa; dan membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian, mencegah berulangnya konflik; dan menjaga keutuhan wilayah Aceh.

Mekanisme Rekonsiliasi. Ketentuan Rekonsiliasi tingkat Gampong dan Kecamatan: oleh KKR Aceh yang disaksikan oleh lembaga adat setingkat Mukim dan/atau Gampong dengan mempertemukan dan melakukan mediasi antara pelaku dan korban; pelaku memohon maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan pernyataan penerimaan maaf oleh korban secara terbuka juga; pernyataan permohonan dan pemberian maaf harus dilakukan secara individual; dan dalam permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk membayar restitusi yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Rekonsiliasi pada tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh dilakukan dalam hal pelaku bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM pada tingkatan kebijakan dan hanya dapat dilakukan setelah rekonsiliasi di tingkat Gampong dan Kecamatan selesai.

Rekonsiliasi pada tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh dilaksanakan dengan ketentuan dilakukan oleh KKR yang dihadiri oleh Wali Nanggroe atau orang yang ditunjuk oleh Wali Nanggroe dengan mempertemukan dan melakukan mediasi antara pelaku dengan korban atau perwakilan korban; KKR membacakan kesalahan yang dilakukan oleh Pelaku termasuk uraian perintah atau kebijakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM; pelaku menyatakan secara terbuka kesalahan kebijakan atau perintah yang diberikannya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, pelaku memohon maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan pernyataan penerimaan maaf oleh perwakilan korban secara terbuka, pernyataan permohonan maaf harus dilakukan secara individual dan pernyataan pemberian maaf dilakukan oleh korban atau perwakilan korban; dan dalam hal permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk membayar restitusi.

Seluruh proses rekonsiliasi Aceh dicatat dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh   korban, pelaku dan komisioner yang bertugas serta lembaga adat yang hadir bertindak sebagai saksi. Berita acara memuat identitas lengkap korban dan pelaku, tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan rekonsiliasi, uraian lengkap pelanggaran HAM yang menjadi obyek rekonsiliasi mencakup tanggal, tempat dan waktu kejadian dan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan serta kebijakan atau perintah yang diberikannya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM; kesepakatan untuk bentuk, jumlah, waktu dan tatacara pembayaran restitusi atau sanksi adat; uraian lengkap proses rekonsiliasi; dan tanda tangan para pihak.

KKR Aceh membacakan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku termasuk uraian tindakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, sebelum berita acara ditandatangani. Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tatacara   dan   teknis pelaksanaan rekonsiliasi mengacu pada kearifan lokal Aceh yang diatur dengan Peraturan KKR Aceh.

G. PENGELOLAAN, PENYIMPANAN DAN PERUNTUKAN

Setiap dokumen yang didapat dan diterima oleh KKR Aceh harus didaftar/diregister dan diberi nomor. Dokumen diarsipkan dan digandakan sebanyak 2 (dua) eksemplar sebagai data pendukung dan disimpan ditempat yang berbeda dengan dokumen asli. Dokumen ini bersifat terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh KKR Aceh dengan memperhatikan kepentingan korban dan saksi. Dokumen-dokumen yang akan dikeluarkan harus memiliki legalitas KKR Aceh.

Kepala kelompok kerja bidang dokumentasi dan publikasi bertanggung jawab terhadap pengelolaan, penyimpanan dan peruntukan dokumen yang diorganisir dalam sebuah pangkalan data (database). komisioner KKR Aceh yang akan berakhir masa tugasnya, wajib menyerahkan dokumen kepada Pemerintah Aceh dan komisioner periode berikutnya dan menjadi dokumen resmi. KKR Aceh dan Pemerintah Aceh berkewajiban untuk secara terus menerus memberikan perlindungan bagi informasi yang sifatnya rahasia sesuai dengan permintaan korban dan atau untuk kepentingan keamanan bagi korban.

H.  PENDANAAN DAN SEKRETARIA

Pendanaan. bersumber dari APBA. KKR Aceh dapat menerima pendanaan dari APBN, APBK dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota dapat memobilisasi donasi nasional dan internasional untuk pembiayaan proses pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi.

Sekretariat. Sekretariat KKR Aceh merupakan unsur pendukung dan pelayanan terhadap KKR Aceh. dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Pimpinan KKR Aceh dan secara administratif kepada Gubernur melalui Sekda.

I. LARANGAN

Anggota KKR Aceh, Sekretariat dan setiap orang yang terlibat dalam KKR dilarang:

  1. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pelaku  atau pihak lain yang ada hubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang ditangani KKR Aceh sehingga dapat mempengaruhi proses pengungkapan kebenaran;
  2. menangani pemeriksaan atas pelanggaran hak asasi manusia yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda. dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KKR Aceh yang bersangkutan; dan
  3.  Menyalah gunakan informasi dan dokumen berkenaan dengan seluruh proses   pengungkapan kebenaran, baik semasa bertugas maupun sesudahnya.

J.   KETENTUAN PIDANA DAN PERALIHAN

Ketentuan Pidana

  1. Setiap orang yang menghalangi tindakan pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi yang sedang ditangani oleh Komisi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  2. Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana yang sama.
  3. Setiap Komisioner KKR Aceh yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Ketentuan Peralihan

  1. Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang terkait dengan pelanggaran HAM berat yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KKR Aceh, dapat diambil alih penyelesaiannya oleh KKR Aceh;
  2. Peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan oleh KKR Aceh, Tetap dapat ditindaklanjuti melalui mekanisme hukum;
  3. Dalam hal dianggap perlu, KKR Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga baik negara maupun non negara yang berkaitan dengan kerja-kerja KKR Aceh termasuk lembaga penegakan HAM, lembaga perlindungan saksi dan korban dan lembaga donor;
  4. Dengan terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tata kerja KKR Aceh akan disesuaikan kembali.
*Alumni Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Lhokseumawe, Aktivis YARA Aceh Utara dan Peserta tes Seleksi Calon Komisioner KKR Aceh 2021-2026.

Sumber: Qanun Aceh Nomor 17 tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh

1 komentar: