KUHAP pasca Pengujian di Mahkamah Konstitusi


Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi (MK)
adalah adalah menjaga konstitusi gutegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.

MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Kedudukan MK merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Kewenangan MK mempunyai 4 (empat) kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. Memutus pembubaran partai politik, dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo UU No. 8 Tahun 2011 (Perubahan UU MK) jo UU No. 4 Tahun 2014 (Perubahan kedua UU MK) jo UU No. 7 Tahun 2020 (Perubahan ketiga UU MK).

PUTUSAN  MK TERHADAP PENGUJIAN  KUHAP 

Berikut pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diubah (dinyatakan inkonstitusional bersyarat, bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat) setelah Pengujian di Mahkamah Konstitusi.

Pasal 1 angka 14 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184”.

Pasal 1 angka 26 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010: Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian tidak dimaknai termasuk pula “orang  yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”

Pasal 17 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.

Pasal 18 ayat (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013: Frasa "segera" dalam pasal 18 ayat 3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "segera dan tidak lebih dari 7 hari" menolak permohonan pemohon untuk selebihnya

Pasal 21 ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.


Pasal 24 Terhadaputusan perkara pidana yang diberikan pada tingkaterakhir oleh pengadilan laiselaidaripadMAterdakwatau penuntuumum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MahkamaAgung kecuali terhadap putusan bebas

Putusan MK No. 114/PUU-X/2012: Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 77 huruf a Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Pasal 77 huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”

Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Putusan MK No. 98/PUU-X/2012: Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 adalah bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;

Pasal 82 ayat 1 huruf d dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

Putusan MK No. 02/PUU-XIII/2015: Pasal 82 ayat 1 huruf d bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frase “suatu perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”

Pasal 83 ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011: Pasal 83 ayat (2) UU Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2)

ayat (1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f.  pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i.  ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j.  keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan;

l.  hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;


Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP inkonstitusional sepanjang diartikan “surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I mengakibatkan putusan batal demi hukum”

Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016: Pasal 197 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”

Ayat (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 2 diubah menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal 263 ayat (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukutetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA.

Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016: Pasal 263 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.


Pasal 268 ayat (3) Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.

Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013: Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar