Perlehatan pilkada serentak secara nasional
akan di gelar 27 November 2024. Hal ini merujuk ketentuan pasal 201 ayat (8)
Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang telah diubah beberapa
kali. Pasal tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa Pemungutan suara
serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Khusus untuk penyelenggara Pemilihan atau
Pilkada di Aceh, pengawasan tahapan-tahapan pelaksanaan pilkada tidak dilakukan
oleh Bawaslu/Panwaslih (permanen) yang dibentuk sesuai Undang-undang
Nomor 7 tahun 2017 tetang Pemilu, akan tetapi dilakukan oleh Panitia Pengawas
Pemilihan (Panwaslih) yang bersifat adhoc yang dibentuk berdasarkan
Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pasal 60 tersebut menyatakan bahwa anggota Panwaslih masing-masing sebanyak 5 orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK. Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Masa kerjanya berakhir 3 bulan setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Adapun Bawaslu Provinsi Aceh yang kemudian diubah namanya menjadi Panwaslih Provinsi Aceh berdasarkan Pasal 557 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemilu memiliki relasi yang setara dengan KIP Aceh. Pola hubungan Panwaslih Provinsi Aceh dan KIP Aceh ini merujuk kepada Undang-Undang Pemilu. Selanjutnya terdapat pula Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2016 juncto Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2018 tentang Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan di Aceh yang merupakan turunan dari UUPA. Keberadaan Qanun ini mempertegas posisi Bawaslu Aceh dan Panwaslih Aceh sebagai dua lembaga pengawas Pemilu/Pemilihan di Aceh. Bawaslu mengawasi rezim Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR-RI, DPD-RI, DPRA, dan DPRK, sedangkan Panwaslih mengawasi tahapan penyelenggaraan Pilkada di Aceh.
Lantas bagaimana dengan konsidi real yang
terjadi sekarang, terlihat seperti tidak adanya sinergitas atau estafet
pelimpahan tugas, wewenang yang tegas terutama di wilayah kabupaten/kota. Tidak
seiramanya proses rekruitmen panwaslih kab/kota yang dilakukan DPRK berdampak
pada luputnya pengawasan terhadap beberapa tahapan pilkada yang telah dimulai,
kondisi ini tentu bukanlah sesuatu yang telah di desain, apalagi nyata-nyata
telah menggerus kualitas pelaksanaan tahapan pilkada itu sendiri.
Sesuai dengan tahapan dan jadwal pelaksanaan
Pilkada yang di reales KPU melalui Peraturan KPU Nomor 2 tahun 2024 maupun oleh
KIP Aceh dengan Keputusan KIP Aceh Nomor 7 tahun 2024, salah satu tahapan yang
terlewatkan dari pengawasan adalah tahapan pencalonan (Pemenuhan persyaratan
dukungan pasangan calon perseorangan) meski masih akan berlanjut sampai 19
Agustus 2024, namun tahapan ini sudah dimulai sejak awal Mei 2024. Selain itu
proses perekrutan badan penyelenggara adhoc (PPK dan PPS) oleh KIP Kab/kota
juga luput dari pantauan Panwaslih dan yang lebih miris disaat Bawaslu Kab/kota
Provinsi lain telah selesai melaksanakan proses perekrutan Panwaslu Kecamatan
dan Panwaslu Desa/Kelurahan, Panwaslih kab/kota ad hoc bahkan belum nampak
geliatnya ibarat kendaraan yang belum panas mesinnya.
Ditengah proses tahapan pilkada yang terus
berlangsung dengan berbagai dinamika dan problematikanya, Panwaslih masih
disibukkan dengan hal-hal normatif tidak substansial seperti pembentukan
struktural kelembagaan, birokrasi penganggaran, kesektariatan dan perihal
administratif lainnya.
Di fase-fase krusial ini, ironi memang jika eksekutif dan legislatif terkesan setengah hati dalam mengimplementasikan kekhususan aceh utamanya terkait kewenangan mengawasi pilkada secara otonom. Sejatinya keistimewaan yang tertuang dalam UUPA dan Qanun menjadi embrio lahirnya lembaga Panwaslih yang berkualitas dan senyawa dengan semangat kekhususan aceh itu sendiri.
Adakah kewenangan Bawaslu Provinsi/Kab/Kota mengawasi Pilkada Aceh?
Pasal 557 ayat (2) Undang-Undang Pemilu menentukan bahwa Kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan Undang-Undang Pemilu yakni KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan lembaga yang hierarkis dengan KPU serta Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu. Ketentuan ini dikonkritkan kembali pada pasal 571 huruf d yang pada pokoknya mencabut beberapa pasal terkait kelembagaan KIP dan Panwaslih di Aceh perihal jumlah anggota dan sifat kelembagaan KIP dan Panwaslih.
Setelah Undang-Undang Pemilu berlaku aktif, ada secercah harapan bahwa kerumitan kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh telah terformulasi secara ideal, namun polemik regulasi tersebut ternyata menghadirkan permasalah baru yakni inkonstitusionalnya proses perumusan dan penetapan pasal-pasal tersebut oleh DPR RI. legislator Senayan telah abai dan ugal-ugalan dalam menetapkan kebijakan tersebut dengan mengebiri hak-hak keistimewaan Aceh yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3) UUPA yakni kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPRA dalam menentukan regulasi yang berhubungan langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan Nomor 66/PUU-XV/2017 kemudian menyatakan Pasal 557 Ayat (2) dan Pasal 571 huruf d Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi dari putusan MK tersebut adalah Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA kembali berlaku dan secara umum juncto istimewa tata kelembagaan penyelenggaraan pemilihan di Aceh tetap merujuk pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta qanun-qanun turunannya.
Berkaca dari rentetan peristiwa tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara legal formal (kepastian hukum), Bawaslu di Aceh
tidak mempunyai kewenangan untuk mengawasi tahapan pelaksanaan pilkada karena
kewenangan pengawasan pilkada di Aceh sepenuhnya berada pada Panwaslih Aceh dan
Panwaslih Kab/Kota yang bersifat adhoc dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Pemeritahan Aceh.
Namun secara Administratif formal, Bawaslu di Aceh dapat berperan sebagai support sistem dengan berkolaborasi dalam pengawasan pilkada bersama Panwaslih. Hal ini merupakan energi positif sekaligus benefit besar jika mampu dilaksanakan secara cermat, cepat dan tepat.
Referensi:
- https://fhuk.unand.ac.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=3986:dualisme-pengawas-pemilu-di-provinsi-aceh&Itemid=1539&lang=id (Ilhamdi Putra, SH.,MH)
- https://jurnalfsh.uinsa.ac.id/index.php/aldaulah/article/view/806/757 Sengkarut pola hubungan lembaga penyelenggara Pemilu di daerah otonomi khusus (Mutiara Fahmi, Zahlul Pasha, Khairil Akbar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar