Pemilihan Umum
adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Legislatif (DPR), Perwakilan
Daerah/Senator (DPD) serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Demikian definisi Pemilu sesuai UU No. 7 tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Pemilu diselenggarakan setiap 5 (tahun) sekali
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggaan Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi
Penyelenggaraan Pemilu.
Penyelenggaraan
Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis,
mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan
sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam
pengaturan Pemilu dan mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.
Prinsip dasar
kedaulatan rakyat sebenarnya sangat sederhana, bahwa rakyat lah yang harus
menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, bukan yang lain. Rakyat
berkuasa independen atas dirinya sendiri dengan kata lain kedaulatan rakyat
berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemimpin-pemimpin yang dipercara oleh rakyat melalui proses pemilihan umum
secara langsung yang demokratis, adil dan bermartabat.
Peran KPU
Beranjak dari
hal tersebut, pemilu merupakan sarana legitimasi rakyat dalam merepresentasikan
kedaulatannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Sebagai
penyelenggara Pemilu, KPU, Bawaslu dan DKPP telah diberikan mandat oleh rakyat
guna memastikan suara-suara rakyat terjaga kedaulatannya dan melaksanakan
tanggung jawab tidak hanya secara hukum, melainkan tunduk pada nilai-nilai etika
dan moralitas.
KPU sebagai aktor
utama penyelenggara pemilu wajib merumuskan secara paripurna, detil dan
sistematis berupa hard sistem (manual) maupun soft system (Teknologi)
terutama terkait dengan mekanisme pemungutan dan penghitungan suara. KPU
hendaknya juga memastikan bahwa penyelenggara teknis lapangan memahami dengan
utuh dan mahir mengoperasionalkan perangkat-perangkat tersebut. Secara teknis,
KPU di “haram” kan mengotak-atik (menambah/mengurangi/mengkondisikan) hasil
penghitungan suara. Derajat kemuliaan suara rakyat dijunjung tinggi setara
kuasa ilahiah. Mantranya, suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox
Dei) dan di sisi lain KPU wajib
terlepas dari beban atau sugesty keberpihakan/partisan.
Sebuah adagium
menyebutkan: “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan
hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yg menentukan
hasil dari pemilu”. Adagium ini mungkin bisa menjadi alarm atau menurut penulis
lebih kepada landasan moral bahwa KPU mempunyai peran sentral dalam menentukan
hasil pemilu melalui kewenangan dan perangkat-perangkat operasionalnya.
Peran Bawaslu
Meski demikian,
hal itu tidak etis dijadikan sebuah justifikasi bahwa KPU mempunyai kewenangan
mutlak menentukan peraih suara terbanyak dalam pemilu, masih banyak
elemen-elemen yang dapat menghindarkan KPU terjerumus dalam dugaan nista
tersebut. Salah satu elemen sakral lainnya adalah eksistensi Bawaslu dalam
melakukan pengawasan dan kembali ke pokok tugasnya Bawaslu juga punya tanggung
jawab hukum dan moral dalam menjaga dan memastikan kedaulatan suara rakyat.
Bahwa satu suara rakyat wajib di jaga dan dipastikan utuh dan sampai kepada
orang yang di pilih sebagai bentuk legitimasi terhadap keterwakilannya sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi.
Berbeda dengan
elemen sipil lainnya, Bawaslu merupakan representasi negara yang juga mendapat
mandat dari rakyat untuk mengawasi setiap tahapan pelaksanaan Pemilu, Bawaslu
diberikan kewenangan, akses serta perangkat-perangkat pengawasan yang
membuatnya leluasa, mampu menjangkau penjuru wilayah NKRI dan seluruh dimensi
ruang dan waktu penyelenggaraan pemilu sehingga Bawaslu sejatinya menjadi wasit
dan saksi yang mampu memberikan ketenangan dan harapan kepada peserta pemilu
dan masyarakat sehingga pemilu terlaksana secara adil dan bermartabat, out put
nya adalah hasil pemilu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, moral dan
etika yang bermuara pada kuatnya legitimasi pemenang pemilu.
Peran Peserta
Pemilu dan Masyarakat
Selain KPU dan
Bawaslu, Peserta pemilu baik itu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,
Calon Anggota DPR dan DPD melalui perangkat atau tim pemenangannya juga
diberikan ruang yang sama secara hukum dalam upaya memastikan Proses Pemungutan
dan Penghitungan Suara berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang ada. Tim
pemenangan dapat mengutus saksi-saksinya ke TPS sesuai dengan jenis
pemilihannya. Peran saksi-saksi Peserta pemilu juga tidak kalah krusial dalam
menentukan pemenang pemilu, potensi “kecurangan”, kesalahan atau kekeliruan
saat penghitungan suara bahkan bisa terhindar jika Seluruh peserta pemilu mampu
menghadirkan saksi-saksinya ke seluruh TPS dan para saksi tersebut bekerja secara
profesional sesuai mekanisme dan arahan dari pemberi mandatnya.
Seluruh pemangku kepentingan Pemilu berperan untuk memastikan semua tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan azas dan prinsip pemilu yang demokratis dan berintegritas agar proses dan hasil pemilu itu dipercaya. Diperlukan kepedulian dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat secara luas untuk ikut terlibat memastikan integritas pemilu 2024 terutama peran aktif masyarakat saat pemungutan dan penghitungan suarat di TPS. Masyarakat diharapkan mencegah terjadinya potensi kecurangan dan pelanggaran serta melaporkan kepada Pengawas TPS atau Pengawas Pemilu Desa.