Harta Bersama Perspektif UU Perkawinan dan KHI

HARTA BERSAMA PERSPEKTIF UU PERKAWINAN DAN KHI

Dalam fikih Islam klasik tidak dikenal harta bersama bahkan kalau terjadi perceraian, maka harus dilihat siapa pemilik hartanya. Hal ini berbeda dengan fikih yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan hukum Islam hasil ijtihad bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya serta Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dua peraturan perundang-undangan tersebut dapat disebut fikih, yaitu hasil ijtihad dengan sungguh-sungguh menghasilkan suatu rumusan hukum. Keduanya hasil pemikiran para alim ulama dan umara’, sehingga dapat disebut “fikih Islam Indonesia”. Dari dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tersebut dikenal adanya harta bersama.

Dalam pendapat T. M. Hasbi Ash Shiddiqie dalam buku Pedoman Rumah Tangga (hal. 9), dengan perkawinan, menjadikan sang istri syirkatur rojuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abadan (perkongsian tidak terbatas).

Itulah sebabnya di Pengadilan Agama ketika ada orang Islam bercerai dan mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85 s/d Pasal 97 KHI.

Maka, menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama dalam perkawinan.


A. HARTA BERSAMA DALAM UU PERKAWINAN

Harta Bersama atau Harta Benda dalam perkawinan dalam UU Perkawinan (UU Nomor 1 tahun 1974) diatur pada Bab VII Pasal 35 s/d Pasal 37

Kepemilikan Harta Bersama Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Hak bertindak terhadap harta

a.  Harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

b.  Harta bawaan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Harta Bersama Pasca Perceraian Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

 

B. HARTA BERSAMA DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Harta bersama atau Harta Kekayaan dalam Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam BAB XIII Pasal 85 s/d Pasal 97

Definisi Harta Bersama Dalam pasal 1 huruf f KHI disebutkan Harta bersama adalah Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Percampuran Harta Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Harta Bawaan Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Perselisihan Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkama Syariah.

Tanggung Jawab Menjaga Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Kebendaan Harta Bersama Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau  tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

Persetujuan Para Pihak Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pertanggungjawaban Terhadap Hutang

a.  Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.

b.  Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

c.   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

d.  Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri

Harta Bersama Perkawinan Lebih Seorang Istri Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Sita Jaminan atas Harta Bersama

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

2. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Hak Pasangan Cerai Mati

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama;

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Hak Janda/Duda Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


Sumber:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya
  • Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
  • https://www.hukumonline.com/klinik/a/harta-bersama-menurut-hukum-islam-dan-hukum-positif-indonesia-lt5f02d1a9e525c

KUHAP pasca Pengujian di Mahkamah Konstitusi


Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi (MK)
adalah adalah menjaga konstitusi gutegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.

MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Kedudukan MK merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Kewenangan MK mempunyai 4 (empat) kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. Memutus pembubaran partai politik, dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo UU No. 8 Tahun 2011 (Perubahan UU MK) jo UU No. 4 Tahun 2014 (Perubahan kedua UU MK) jo UU No. 7 Tahun 2020 (Perubahan ketiga UU MK).

PUTUSAN  MK TERHADAP PENGUJIAN  KUHAP 

Berikut pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diubah (dinyatakan inkonstitusional bersyarat, bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat) setelah Pengujian di Mahkamah Konstitusi.

Pasal 1 angka 14 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184”.

Pasal 1 angka 26 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010: Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian tidak dimaknai termasuk pula “orang  yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”

Pasal 17 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.

Pasal 18 ayat (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013: Frasa "segera" dalam pasal 18 ayat 3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "segera dan tidak lebih dari 7 hari" menolak permohonan pemohon untuk selebihnya

Pasal 21 ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.


Pasal 24 Terhadaputusan perkara pidana yang diberikan pada tingkaterakhir oleh pengadilan laiselaidaripadMAterdakwatau penuntuumum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MahkamaAgung kecuali terhadap putusan bebas

Putusan MK No. 114/PUU-X/2012: Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 77 huruf a Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Pasal 77 huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”

Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Putusan MK No. 98/PUU-X/2012: Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 adalah bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;

Pasal 82 ayat 1 huruf d dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

Putusan MK No. 02/PUU-XIII/2015: Pasal 82 ayat 1 huruf d bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frase “suatu perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”

Pasal 83 ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011: Pasal 83 ayat (2) UU Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2)

ayat (1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f.  pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i.  ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j.  keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan;

l.  hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;


Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP inkonstitusional sepanjang diartikan “surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I mengakibatkan putusan batal demi hukum”

Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016: Pasal 197 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”

Ayat (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 2 diubah menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal 263 ayat (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukutetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA.

Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016: Pasal 263 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.


Pasal 268 ayat (3) Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.

Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013: Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Sumber: