Kedudukan MK merupakan salah satu
lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Kewenangan MK mempunyai 4 (empat)
kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
- Memutus pembubaran partai politik, dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf d
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo UU No. 8 Tahun 2011 (Perubahan UU MK) jo UU No. 4 Tahun 2014 (Perubahan
kedua UU MK) jo UU No. 7 Tahun 2020 (Perubahan ketiga UU MK).
PUTUSAN MK TERHADAP PENGUJIAN KUHAP
Berikut pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diubah (dinyatakan inkonstitusional bersyarat,
bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat) setelah
Pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Pasal 1 angka 14 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14
dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti
yang termuat dalam Pasal 184”.
Pasal 1 angka 26 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010: Pasal 1 angka 26 dan
angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1)
huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang pengertian tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat
memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
Pasal 17 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa
“bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua
alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
Pasal 18 ayat (3) Tembusan
surat
perintah penangkapan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1)
harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013: Frasa "segera" dalam pasal 18 ayat 3
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai "segera dan tidak lebih dari 7 hari" menolak permohonan pemohon untuk selebihnya
Pasal 21
ayat (1) Perintah penahanan atau
penahanan
lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014: Frasa
“bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua
alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
Pasal 24 Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas
Putusan MK No. 114/PUU-X/2012: Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 77
huruf a Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
Putusan MK No.
21/PUU-XII/2014: Pasal 77 huruf
a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”
Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah
atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Putusan MK No. 98/PUU-X/2012: Frasa “pihak ketiga yang
berkepentingan“ dalam Pasal 80 adalah bertentangan dengan UUD 1945 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi
korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan”;
Pasal 82
ayat 1 huruf d dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra
peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
Putusan MK No. 02/PUU-XIII/2015: Pasal 82 ayat 1 huruf d bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frase “suatu perkara sudah dimulai
diperiksa” tidak dimaknai
“permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah
dimulai sidang pertama
terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”
Pasal 83
ayat (2) Dikecualikan dari
ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan,
yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir
ke
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang
bersangkutan.
Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011: Pasal 83 ayat (2) UU Hukum Acara
Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
Pasal 197
ayat (1) dan ayat (2)
ayat (1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal,
jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan
terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan
telah
terpenuhi
semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai
dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh
surat ternyata palsu atau keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat
surat
otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama
penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP
inkonstitusional sepanjang diartikan “surat putusan pemidanaan yang tidak
memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I mengakibatkan putusan batal demi
hukum”
Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016: Pasal 197 ayat (1)
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai
“surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”
Ayat (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013: Pasal 197 ayat 2 diubah menjadi “tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal
demi hukum.
Pasal 263
ayat (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada MA.
Putusan MK No.
33/PUU-XIV/2016: Pasal 263 ayat
(1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit
tersurat dalam norma a quo.
Pasal 268
ayat (3) Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013: Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Sumber: